Mengapa sepakbola Indonesia selalu kalah?

”Bagaimana tidak akan kalah, mainnya saja kayak gitu!, lebih baik tim sepak bola kampung saya!”

”Bagaimana mau menang, menendang bola saja tidak becus, mendingan nonton anak sekolahan main bola, tidak bayar lagi!”

”Bagaimana kita bisa juara, postur tubuh kesebelasan kita tak seimbang dengan lawan, lagi pula banyak pemain yang over acting.”

Begitulah kira-kira sebagian kecil jawaban yang akan kita dengar perihal pertanyaan yang diajukan, mengapa sepakbola Indonesia selalu kalah.
Pasti masih banyak jawaban lain dengan berbagai argumentasinya yang dapat dilontarkan untuk melampiaskan kekecewaan.

Betapa tidak, dengan jumlah penduduk lebih dari 200 juta jiwa, mencari 11 orang saja untuk menjadi kesebelasan nasional yang disegani di seantero jagad raya ini begitu sulitnya.

Apakah memang demikian?

Tidak, karena sejatinya para pemain tersebut sebetulnya secara individu punya kemampuan mengolah si ”kulit bundar” sangat bagus.
Dibandingkan dengan pemain asing sekalipun, kualitas pemain sepak bola kita bisa disejajarkan.

Fisik kecil tidak menjadi persoalan, karena bagaimanapun juga pemain Asia lainnya seperti dari Jepang, Korea (Selatan), dan Thailand misalnya, kondisi fisik dan postur tubuh mereka setali tiga uang dengan kondisi fisik pemain Indonesia.

Kalau demikian dimana permasalahannya?

Tahukah Anda kenapa pada cabang olah raga Badminton (Bulu Tangkis) Indonesia bisa mendapat medali emas Olimpiade, mampu menjadi juara All England berturut-turut, sukses di Kejuaraan Dunia, tak terkalahkan di Piala Thomas dan Uber Cup?

Apakah ini jawabannya, ya, karena pada permainan Badminton, pemain menghadapi lawan secara perorangan, kalau ada pengecualian adalah pada partai double.

Bermain secara individual, pemain Badminton dapat dengan mudah dan bebas melakukan apa saja, dia tak perlu memikirkan harus berbagi bola dengan yang lain.

Kalau ingin menang dia harus berusaha sendiri dengan sekuat-kuatnya, kemanapun arah bola (selama masih dalam lapangan) pasti dan harus dikejar.
Santai dan lengah sedikit saja kemenangan yang sudah di depan mata pasti melayang.

Dalam permainan Badminton (apalagi partai Single) kerja sama tidak dibutuhkan, menang dan atau kalah ditentukan sendiri.

Karena (umumnya) manusia itu ego-nya tinggi, maka hambatan terbesar dalam mencapai kesuksesan bersama adalah lemahnya kerja sama.

Lemahnya kerja sama, enggannya orang untuk bekerja sama, merupakan penyakit masyarakat Indonesia yang (masih) sulit diruntuhkan. Mungkin akan jauh lebih mudah meruntuhkan tembok Cina (karena tembok Berlin sudah runtuh duluan).

Kembali kepada kesebelasan Indonesia, jika kita melihat para pemain di lapangan mereka punya kecenderungan untuk mengolah si kulit bundar itu sendiri, kerja sama yang seharusnya dilakukan, misalnya karena teman berada dalam posisi tembak yang bagus tidak dimanfaatkan.

Alih-alih menciptakan gol, malah tersungkur karena kehabisan nafas duluan.

Yang lainpun maunya hanya menunggu bola (operan), dan tidak mau mengejar, serta berusaha untuk merebut dan menguasai bola dari kaki lawan.

Secara individual kualitas pemain Indonesia tak diragukan, tetapi ini main bola Bung, bukan Badminton (single), disini sangat diperlukan kerja sama dan kekompakan dari seluruh anggota kesebelasan.

Peran Kapten juga sangat menentukan karena dialah yang harus mengatur pergerakan bola jika berada di tim-nya.

Bagaimana dengan Tim-nya INTI?

Keberhasilan INTI diukur dari kemampuannya untuk dapat merealisasikan target perolehan laba yang telah ditetapkan.

Karena INTI merupakan sebuah Tim, maka diperlukan kerja sama yang harmonis dan kompak dari seluruh anggota Tim untuk merealisasikan target yang telah ditentukan, apalagi target ini juga ditetapkan bersama.

Diperlukan tanggung jawab dan kemauan yang cukup kuat untuk mau bekerja sama, saling dukung, dan bukan saling sikut.

Tidak ada lagi tempat untuk mengklaim bahwa keberhasilan adalah karena seseorang, keberhasilan dan kesuksesan adalah milik bersama.

Demikian juga kegagalan (jangan sampai terjadi) tentu menjadi tanggung jawab bersama.

Juga tidak ada lagi tempat untuk berpangku tangan, menunggu bola, dan menunggu perintah bukan zamannya lagi.

Semua orang dalam Tim ini harus berinisiatif, mampu bersikap pro aktif, mau melayani dan bukan minta dilayani. Mau dan mampu menjemput bola.

Mengutip arahan Komisaris dan Dirut pada saat Radin 18, tanggal 18 Januari 2008 lalu, bahwa ”dulu regulator berpihak ke INTI, pasar sudah tersedia, berapapun produk yang dihasilkan pasti terserap, maka kini jangan berharap lagi.”
INTI harus mencari makan (proyek) sendiri karena tak ada lagi yang akan menyuapi.

Kalau mau sukses, tanggalkan ego, tingkatkan kerja sama dan tumbuhkan budaya berbagi (pengetahuan, pengalaman, dan tentu saja keahlian).

Jadi, mengapa kesebelasan Indonesia selalu kalah?(INTI/HM)


"Mengapa Sepakbola Indonesia Selalu Kalah?"   |   Dibaca 307 kali   |   0 Komentar    |   Login untuk berkomentar   

Komentar