Suatu siang di tengah teriknya panas matahari bulan November 2007, saya bertemu dengan seorang sahabat lama yang memang sudah cukup lama tidak saya ajak bicara empat mata.

Biasanya setiap bertemu kami memang selalu menyempatkan diri bertukar pikiran, tentang apa saja, dan tentunya pada hal–hal yang positif.

Sahabat saya ini seorang intelek dan sangat berbakat seni, dalam raga dan jiwanya rupanya mengalir darah seni yang kental. Saya tidak tahu persis apakah bawaan dari ibunya atau bapaknya. Bagi sahabat saya hidup ini mengalir apa adanya, dijalani saja, tapi tetap berusaha dan tidak asal nrimo, karena dia sangat menyadari hidup ini hanya dapat berubah jika kita yang berusaha untuk mengubahnya.

Begitu wejangannya pada saya beberapa tahun yang lalu, dan saya yakin dia sendiri sudah lupa pernah mengucapkan kata-kata itu kepada saya. Dalam kesehariannya pun sahabat saya ini selalu bergembira, rasanya setiap kami bertemu, belum pernah saya melihat dia tidak tersenyum, luar biasa!

Siang itu di lobi sebuah perusahaan yang tengah melaksanakan suatu acara, kami bertukar pikiran, tentang apa saja. Dinginnya suasana hati kami berbanding terbalik dengan panasnya cuaca di luar ruangan. Kami yakin sebentar lagi akan turun hujan lebat, karena memang bulan ini adalah bulan–bulan hujan.

Saya teringat sewaktu kecil, guru saya di sekolah mengatakan bahwa jika nama suatu bulan berakhiran “ber” seperti September, Oktober, November, dan Desember, bersiap-siaplah untuk selalu membawa payung atau jas hujan ke sekolah.

Tetapi kini tampaknya tidak lagi, musim sulit diprediksi, secanggih apapun alat yang digunakan, manusia hanya bisa mengira-ngira, kuasa tetap ditangan-Nya. Terbukti sekarang, curah hujan baru turun membasahi bumi yang telah lama kering kerontang pada awal November ini, dan akan berakhir bulan Mei atau Juni nanti. Kalau tak percaya, simpan tulisan saya ini dan buktikan pada bulan Mei atau Juni tahun depan. Mau?

Setelah berbasa-basi sebagaimana layaknya adab orang timur, mengomentari cuaca yang sangat panas menyengat, hujan yang baru saja menimbulkan banjir di sejumlah daerah, pembicaraan menukik kepada sikap dan rasa percaya diri sebagian besar rakyat Indonesia yang demikian rendah.
Dia lalu mencontohkan beberapa teman di perusahaannya ketika memberi saran, komentar, dan masukan di media intranet yang sedang naik daun dan digandrungi akhir-akhir ini, sebagian besar noname atau hanya nama alias/samaran.

Katanya, “memang ada dari beberapa orang yang menulis berita, menceritakan sesuatu, memberikan komentar, kritik dan saran terhadap suatu hal dengan menggunakan identitas jelas, tapi tidak sedikit dengan nama alias, bahkan mayoritas”.

Sahabat saya ini melanjutkan, “sepertinya, berlindung dengan nama alias atau noname, adalah senjata pamungkas yang paling mudah dan sangat digemari”.

Saya katakan, “mungkin teman-teman anda takut sarannya dianggap tidak bagus, atau asbun (asal bunyi) atau mungkin saja rendah hati (asal bukan rendah diri) barangkali”.

Tetapi, apapun alasannya sebagai seorang kesatria dan punya kepercayaan diri, seharusnya tidak bersikap demikian, namanya juga saran, mau diterima atau tidak kenapa takut?, gitu aja kok repot? Seharusnya pakai jargon anak muda sekarang, pede aja lagi..!.

Tak mau kalah, saya juga memberikan sedikit ilustrasi, di tempat saya bekerja jika ada semacam pertemuan yang melibatkan orang banyak, tempat yang paling digemari dan paling cepat penuh adalah barisan paling belakang.

Tidak memandang apakah dia hanya seorang pelaksana yang tidak punya jabatan apa-apa maupun seorang dengan jabatan kepala divisi atau setingat kepala divisi.

Alasan paling gampang yang sering dikemukakan adalah, barisan paling depan diperuntukkan bagi para bos, maksudnya pimpinan/top management atau paling tidak midle management.

Tapi apa iya, kursi di deretan terdepan yang jumlahnya hampir mencapai 60 kursi tersebut untuk mereka semuanya? Tidak, bukan? Karena jumlah mereka tidaklah sebanyak itu, kalau pun jumlahnya sedemikian banyak, lalu bagaimana dengan baris kedua, ketiga dan keempat?

Akhirnya saya berkesimpulan mental dan budaya bangsa kita sudah direcoki oleh budaya inlander, terlalu banyak ewuh pakewuh, rakyat selalu dan diharuskan untuk merunduk-runduk kepada atasan/pimpinan, sementara pimpinan juga (mungkin saja) tidak senang jika tidak dihormati.

Harus diberikan tempat paling depan, walaupun datang terlambat. Untuk kasus ini, marilah kita contoh etika masuk masjid, siapa yang duluan datang dialah yang berhak untuk menduduki shaf paling depan, yang datang belakangan tempatnya di shaf paling belakang bahkan harus siap di luar masjid.

Tak ada kasta, semua orang sama dimata-Nya.

Sahabat saya mengomentari, “tetapi kita kan harus menghormati pemimpin, jadi wajar jika kita memberikan tempat paling depan kepada beliau-beliau itu”.

Saya menanggapi, "pernyataan anda betul, tetapi jika kita hanya menghormati dengan cara seperti itu, sejatinya pemimpin tersebut telah kehilangan kewibawaannya. Dia hanya dihormati karena jabatannya, bukan karena kepribadian dan keteladannya. Camkan itu!"

Dalam heningnya, mungkin tengah menghayati kata-kata terakhir saya, sahabat saya ini hanya mampu menghela nafasnya, dalam sekali.

Saya sampaikan kepadanya, saya punya banyak kasus yang bisa saya kemukakan perihal sikap dan budaya bangsa kita yang salah ini, dan itu semua harus kita ubah, dan kita yang harus memulainya.
Bangsa yang maju adalah bangsa yang mau berubah (menjadi baik dan jauh lebih baik).

Sayup–sayup suara adzan shalat dhuhur terdengar berkumandang, tanpa dikomando kami serentak berdiri, tetapi saya sempat menitipkan pesan atau memberi saran atas kasus noname atau nama alias di intranet yang dikeluhkannya.

Saran saya, sampaikan kepada admin pengelola intranet anda, bahwa mulai sekarang mereka yang mengirimkan berita dan cerita, yang memberikan kritik, saran, dan masukan, harus menyertakan nama jelas. Jika tidak, admin berhak menolaknya.

Gitu aja kok repot!

Dari Harmen Mesta, untuk sahabat dan rekan–rekan saya.


"Ini Dadaku, Mana Dadamu?"   |   Dibaca 276 kali   |   0 Komentar    |   Login untuk berkomentar   

Komentar