Akhirnya, si tukang setelah menghabiskan waktu berminggu-minggu setelah mempelajari pola design yg jelimet yang diberikan si pemesan, menjahitnya dengan acak kadut atau kemungkinan kedua, tidak mengerjakannya sesuai pesanan.
Masih mendinglah dikerjakan dengan acak kadut, si pemakai marah habis-habisanan tapi masih "pakai baju" keluar rumah, yang bahaya konsekuensi yang kedua, sudah lama tidak dikerjakan dan tidak dikerja-kerjakan, si pemesan "telanjang" tidak bisa keluar-keluar rumah.

Demikian cerita si tukang kalau kita pakai sebagai analogi, bahwa si tukang ini merupakan kelompok - bagian besar karyawan yang tidak ngeh apalagi mengaplikasikan atas pernyataan-pernyataan nilai budaya yang kita yakini, sementara salah satu tool pemersatu agar kita kompak dan solid adalah statement budaya yang kita miliki, mutlak dalam satu persepsi pengertian dan pengimplementasian untuk kita jadikan pegangan awal sebelum melakukan kegiatan-kegiatan lebih lanjut.

Apakah tidak perlu kita sederhanakan (dan berbobot) tentunya, dari ke 8 nilai budaya, antara lain: achivemen, integrity, endurance, dll. yang jauh dapat ditangkap pengertiannya oleh para karyawan di belakang sana di bawah level senior manager dan BOD. Apakah tidak dapat lebih dikemas dalam bahasa Indonesia yang elegan, singkat dan bermakna dalam dan dapat diejawantahkan dalam seluruh kegiatan di seluruh karyawan. Sehingga satu irama dalam satu keindahan orchestra dan enak didengar, tentunya.

Dan terakhir perlu kita ingat, salah satu kunci keberhasilan dari kaca mata marketer yang handal adalah apabila segala apa yang kita tawarkan mesti konsisten atas apa-apa yang kita promosikan dan didengung-dengungkan.


"Desain dengan Pola Jelimet, si Tukang Habis Waktu Kerutkan Kening"   |   Dibaca 369 kali   |   0 Komentar    |   Login untuk berkomentar   

Komentar