Dikirim pada 2007-07-30 08:56:33 Oleh Admin
Sudah sejak lama keberadaan BUMN didera oleh banyak masalah yang besar. Sering BUMN yang merugi diselamatkan oleh pemerintah dengan kucuran dana yang besar agar perusahaannya bisa tetap berjalan dan tidak bangkrut. Kelemahan struktural yang sering terlihat dan dipertanyakan pada BUMN adalah mengenai kualitas dari para direksi. Hal ini dapat terjadi karena orang-orang yang ditunjuk sebagai direksi bukanlah orang-orang yang terbaik berdasarkan mekanisme pemilihan yang objektif. Tetapi banyak di antara mereka dipilih karena penunjukan politis atau adanya kepentingan-kepentingan tertentu dari golongan-golongan tertentu.Terkadang ditemui juga ada beberapa perusahaan BUMN yang sangat menikmati posisinya sebagai "penguasa" karena hanya dia yang bergerak di industri tersebut (monopoli). Posisi ini membuat mereka terlena dan tidak mau berubah untuk menjadi perusahaan yang lebih baik. Perusahaan-perusahaan tersebut mungkin tidak menyadari adanya perubahan lingkungan yang menuntut agar mereka menyiapkan diri menjadi sebuah perusahaan yang mampu bersaing di pasar global. Atau mungkin saja, dengan posisinya, mereka cenderung untuk mengabaikan berbagai perubahan tersebut. Mereka merasa bahwa perubahan-perubahan yang ada tidak akan membahayakan posisinya, sehingga mereka tidak mengambil suatu tindakan inisiatif untuk memperbaiki organisasinya. Akibatnya, karena kerjanya sering tidak efisien dan ditambah dengan adanya korupsi, maka harga jual barang dan jasa perusahaan tersebut lebih tinggi dari yang seharusnya.
Hal lain yang mendorong kebangkrutan organisasi bisnis nasional adalah sikap dan cara pandang para pengambil keputusan yang relatif pendek. Khususnya yang dialami oleh BUMN, karena para pemimpin BUMN umumnya diberi jatah waktu berkuasa sekitar 4-5 tahun. Suatu periode yang sangat pendek bagi suatu jabatan strategis, sehingga mereka tidak merasa tertarik untuk melaksanakan program-program strategik yang umumnya jangka panjang, karena hasilnya baru akan mereka peroleh dalam waktu yang relatif panjang, yang mungkin melebihi batas waktu berkuasanya. Para direksi hanya tertarik untuk melaksanakan program-program yang bisa memberi hasil segera, dalam rentang waktu kuasanya, sehingga nama dan prestasinya bisa diperolehnya saat masih berkuasa.
Umumnya mereka hanya berusaha untuk sekedar hidup pada saat ini saja, mirip seperti pengemis atau supir angkot yang hanya berpikir bagaimana caranya mendapatkan uang untuk memenuhi tuntutan setoran para pemilik hari ini, dan mereka bisa hidup hari ini - maka mereka berlomba-Iomba untuk mencari uang walaupun untuk itu sering perilakunya membahayakan pemakai jalan yang lain. Akibatnya, tidak jarang kalau ada direksi yang juga berperilaku seperti supir angkot, misalnya untuk mencapai target kekayaan atau untuk memenuhi tugas setorannya, tidak jarang mereka "memeras karyawan, menipu pelanggan atau menipu mitra bisnisnya", dan bahkan berbuat hal yang merugikan rakyat.
Cara berpikir jangka pendek ini telah menghancurkan tatanan fundamental organisasi, yang umumnya harus dibangun dengan membutuhkan waktu yang cukup lama dan sekaligus dibutuhkan untuk menjaga keberlangsungan organisasi dalam jangka panjang. Indikator-indikator kinerja organisasi berbentuk rasio-rasio keuangan jangka pendek, umumnya digunakan untuk mengukur kinerja direksi; seperti peningkatan nilai saham, atau tingkat solvabilitas dan keuntungan tahunan perusahaan, telah menjebak para pengambil keputusan untuk mengabaikan pembangunan fundamental bisnis jangka panjang. Sering kita mendengar terjadinya investasi jangka panjang yang terlambat, seperti dialami oleh PT Pelabuhan yang terlambat membangun pelabuhan, atau PT PLN yang terlambat membangun pembangkit listrik nasional, karena investasi seperti ini akan menurunkan kinerja keuangan jangka pendek, walaupun sebenarnya akan menyelamatkan perusahaan dalam jangka panjang.
Hal lain yang mendorong kebangkrutan organisasi bisnis nasional adalah sikap dan cara pandang para pengambil keputusan yang relatif pendek. Khususnya yang dialami oleh BUMN, karena para pemimpin BUMN umumnya diberi jatah waktu berkuasa sekitar 4-5 tahun. Suatu periode yang sangat pendek bagi suatu jabatan strategis, sehingga mereka tidak merasa tertarik untuk melaksanakan program-program strategik yang umumnya jangka panjang, karena hasilnya baru akan mereka peroleh dalam waktu yang relatif panjang, yang mungkin melebihi batas waktu berkuasanya. Para direksi hanya tertarik untuk melaksanakan program-program yang bisa memberi hasil segera, dalam rentang waktu kuasanya, sehingga nama dan prestasinya bisa diperolehnya saat masih berkuasa.
Umumnya mereka hanya berusaha untuk sekedar hidup pada saat ini saja, mirip seperti pengemis atau supir angkot yang hanya berpikir bagaimana caranya mendapatkan uang untuk memenuhi tuntutan setoran para pemilik hari ini, dan mereka bisa hidup hari ini - maka mereka berlomba-Iomba untuk mencari uang walaupun untuk itu sering perilakunya membahayakan pemakai jalan yang lain. Akibatnya, tidak jarang kalau ada direksi yang juga berperilaku seperti supir angkot, misalnya untuk mencapai target kekayaan atau untuk memenuhi tugas setorannya, tidak jarang mereka "memeras karyawan, menipu pelanggan atau menipu mitra bisnisnya", dan bahkan berbuat hal yang merugikan rakyat.
Cara berpikir jangka pendek ini telah menghancurkan tatanan fundamental organisasi, yang umumnya harus dibangun dengan membutuhkan waktu yang cukup lama dan sekaligus dibutuhkan untuk menjaga keberlangsungan organisasi dalam jangka panjang. Indikator-indikator kinerja organisasi berbentuk rasio-rasio keuangan jangka pendek, umumnya digunakan untuk mengukur kinerja direksi; seperti peningkatan nilai saham, atau tingkat solvabilitas dan keuntungan tahunan perusahaan, telah menjebak para pengambil keputusan untuk mengabaikan pembangunan fundamental bisnis jangka panjang. Sering kita mendengar terjadinya investasi jangka panjang yang terlambat, seperti dialami oleh PT Pelabuhan yang terlambat membangun pelabuhan, atau PT PLN yang terlambat membangun pembangkit listrik nasional, karena investasi seperti ini akan menurunkan kinerja keuangan jangka pendek, walaupun sebenarnya akan menyelamatkan perusahaan dalam jangka panjang.
Benang merah di BUMN memang betul, tetapi untuk berbagai ketimpangan di dalam mengelola BUMN dimasa lalu/sebelumnya di harapkan tidak akan terjadi lagi untuk memproses rekrutmen komisaris dan direksi yang tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Bentuk tanggung jawab pelaksanaan antara perusahaan sebagai badan hukum, direksi dan komisaris sebagai pengurus dan pengawas dengan pemegang saham adalah tugas yang dilakukan dengan menjalankan ketentuan anggaran dasar (AD)perusahaan secara transparan,bijaksana,adil,bertanggung jawab dan akuntabel.
Maka dengan adanya kewajiban kinerja komisaris dan direksi dapat dijadikan sebagai alat penilai untuk dipertahankan sebagai komisaris dan direksi atau Diganti. Makanya untuk mewujudkan proses rekrutmen tesebut yang fair, untuk melepaskan dari kepentingan kekuasaan, makanya kan sudah jelas sekarang lakukanlah Good Corporate Governance (GCG)yang bisa disepakati dan tolong dilaksanaka/dilakukan dengan sungguh-sungguh.
Bahwa kalau kita yakin dilakukan setiap kejadian, keajaiban akan dapat menghasilkan gagasan-gagasan yang merupakan berasal dari perasaan kita antara pikiran dan hati/rasa yang bisa dinamakan jati diri kita. Apakah semua unsur karyawan bisa melakukannya ? kami berharap ini bisa dilakukan oleh para pejabat maupun bawahannya sampai ke keturunan yang akan melaksanakan tugas di perusahaan ini.
Mudah-mudahan dengan seperti ini bisa membenahi atau menyelesaikan masalah-masalah perusahaan.
senjata yang paling ampuh!, aplikasikan dg konsisten nilai2 GCG dan Managemen Risk sebagai DASAR untuk mengelola perusahaan scr BENAR di SEGALA aspek kegiatan tentunya dg cara2 EVOLUSI insyaallah,scr jangka panjang perusahaan SURVIVE sebab ke 2 nilai tsb diatas,akan menjadi KOMPAS bagi SCOPE OF WORK; Komisaris dan BOD (40%);Seni or Manager (40%);Karyawan dan Asset Perusahaan (20%),gto lo