Dikirim pada 2007-05-08 13:25:47 Oleh Admin
Peringatan hari buruh internasional (May Day) yang jatuh pada tanggal 1 Mei, setiap tahunnya selalu diperingati oleh kaum buruh di dunia. Peringatan hari buruh ini digunakan sebagai salah satu alternative media untuk memperjuangkan nasib kaum buruh, bahkan dalam perjuangannya ini tidak sedikit yang mengakibatkan terjadinya bentrokan dengan aparat keamanan (polisi).
Berbagai isu yang dilontarkan ikut mewarnai demo tersebut, seperti di Jakarta, ratusan ribu buruh yang tergabung kedalam Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) dan beberapa afiliasinya seperti Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia ( Aspek Indonesia) dan Serikat Pekerja Nasional (SPN) tumpah ruah memadati dan memacetkan jalan – jalan protokol di Ibukota.
SEJATI (Serikat Pekerja Inti), yang resmi bergabung kedalam Federasi ASPEK Indonesia (Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia) dalam peringatan hari buruh tahun ini, memutuskan untuk mengirimkan 6 (enam) orang perwakilannya ke Jakarta sebagai salah satu wujud solidaritas dalam mendukung perjuangan kaum buruh untuk meningkatkan kesejahteraannya.
Buruh Indonesia menuntut pemerintah menghapuskan system kerja kontrak yang diatur dalam UU Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Sistem tersebut dinilai tidak adil dan memarjinalisasi nasib buruh karena menimbulkan ketidakpastian masa depan.
Betapa tidak, dengan system kerja kontrak atau outsourcing, buruh / pekerja tidak punya kekuatan untuk menuntut atau memperjuangkan hak – haknya. Mereka bekerja di satu majikan tapi gaji dibayar oleh majikan yang lain. Jika sudah tidak dibutuhkan kontrak diputus dan dikembalikan ke majikan asal, tanpa diberi pesangon tentunya.
Banyak permasalahan yang menimpa kaum buruh, dan adalah sangat wajar jika buruh meminta kepada pemerintah sebagai regulator agar dalam membuat satu undang – undang lebih memperhatikan nasib mereka.
Pemerintah jangan membuat undang – undang yang memiliki celah, walaupun sangat sedikit akan dimanfaatkan oleh pengusaha untuk mengeksploitasi dan menekan para pekerja. Janganlah pekerja selalu ditempatkan pada posisi yang sangat lemah dalam suatu hubungan industrial.
Beberapa tuntutan buruh berskala nasional yang muncul dalam perayaan hari buruh tahun ini adalah;
Satu hal yang menarik perhatian penulis dalam aksi demo buruh ini adalah, begitu sulitnya Penguasa / Pengusaha mau memenuhi tuntutan buruh, yang mana tuntutan itu nyata–nyata hak kaum buruh.
Jangankan langsung memenuhi tuntutan yang bersifat materi (kesejahteraan), untuk berdialog dan menemui para demonstran saja susah sekali.
Hal ini dapat dilihat pada waktu demonstran meminta ingin berdialog langsung dengan Gubernur DKI Jakarta di Kantor Gubernuran, Sutiyoso kelihatannya seperti bermain api, mengulur–ulur waktu.
Setelah para demonstran mulai “panas†dan ingin merangsek pagar Gubernuran yang dijaga aparat polisi dan tramtib Pemprov DKI secara berlapis, barulah Sutiyoso turun menemui para demonstran.
Inipun sudah hampir memakan korban, karena salah seorang pendemo sempat pingsan karena terjepit diantara dua kekuatan yang saling berhadapan.
Pertanyaannya, apakah Penguasa / pengusaha baru mau berdialog atau menemui buruh / karyawannya harus menunggu jatuh korban dulu? Apa sulitnya turun dan lihatkan simpati atas perjuangan rakyat kecil / buruh? Mengapa gengsi harus dipertahankan?, toh akhirnya turun / menemui pendemo juga? Bukankah pimpinan itu harus bertanggung jawab dan memikirkan serta mensejahterakan rakyatnya / pekerjanya?
Dan sederet pertanyaan lain, yang intinya betapa mahal harga sebuah “egoâ€.
Padahal, ditengah ribuan buruh yang menginginkan dialog dan ingin mendapat jawaban langsung dari pemimpinnya, Sutiyoso malah dielu–elukan, bak seorang pahlawan yang baru pulang dari medan perang.
Ya, Sutiyoso layak diberi apresiasi atas dipenuhinya beberapa tuntutan buruh yang sifatnya regional dan masih dibawah kewenangannya, seperti segera dibayarkannya upah pekerja Ambulan 911 yang belum dibayar Pemda DKI selama 4 bulan, dan lain – lain yang sifatnya regional.
Sementara untuk tuntutan buruh yang bersifat nasional, Sutiyoso berjanji akan memfasilitasi dan mendukung sesuai kewenangan dan kemampuannya.
Setelah berorasi sekitar lebih kurang 10 menit, Sutiyoso pun turun diiringi tepuk tangan yang meriah dari pekerja, tak lupa dia meminta agar buruh tetap melanjutkan aksinya dengan damai.
Melihat begitu banyak dan beragamnya organisasi pekerja yang merayakan hari buruh, serta melakukan demo ke berbagai instansi berwenang, seperti Departemen Tenaga Kerja, DPRD, DPR, Kantor Walikota dan Gubernuran, bahkan ke Istana Presiden dan Wapres, adalah suatu hal yang patut kita syukuri bahwa peringatan hari buruh tahun ini dapat berakhir dengan damai.
Tidak terjadi kerusuhan dan perusakan fasilitas umum seperti tahun – tahun sebelumnya. Buruh Indonesia sudah selangkah lebih maju, dan mereka telah membuktikan aksi mereka adalah aksi damai.
Tidak dapat dipungkiri suasana damai ini tentu tidak akan tercipta tanpa partisipasi aktif dari pengusaha yang telah mengizinkan dan atau memberi cuti pekerjanya untuk ikut merayakan hari buruh.
Buruh Indonesia teruslah berjuang…..!!!.
***Harmen Mesta
Berbagai isu yang dilontarkan ikut mewarnai demo tersebut, seperti di Jakarta, ratusan ribu buruh yang tergabung kedalam Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) dan beberapa afiliasinya seperti Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia ( Aspek Indonesia) dan Serikat Pekerja Nasional (SPN) tumpah ruah memadati dan memacetkan jalan – jalan protokol di Ibukota.
SEJATI (Serikat Pekerja Inti), yang resmi bergabung kedalam Federasi ASPEK Indonesia (Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia) dalam peringatan hari buruh tahun ini, memutuskan untuk mengirimkan 6 (enam) orang perwakilannya ke Jakarta sebagai salah satu wujud solidaritas dalam mendukung perjuangan kaum buruh untuk meningkatkan kesejahteraannya.
Buruh Indonesia menuntut pemerintah menghapuskan system kerja kontrak yang diatur dalam UU Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Sistem tersebut dinilai tidak adil dan memarjinalisasi nasib buruh karena menimbulkan ketidakpastian masa depan.
Betapa tidak, dengan system kerja kontrak atau outsourcing, buruh / pekerja tidak punya kekuatan untuk menuntut atau memperjuangkan hak – haknya. Mereka bekerja di satu majikan tapi gaji dibayar oleh majikan yang lain. Jika sudah tidak dibutuhkan kontrak diputus dan dikembalikan ke majikan asal, tanpa diberi pesangon tentunya.
Banyak permasalahan yang menimpa kaum buruh, dan adalah sangat wajar jika buruh meminta kepada pemerintah sebagai regulator agar dalam membuat satu undang – undang lebih memperhatikan nasib mereka.
Pemerintah jangan membuat undang – undang yang memiliki celah, walaupun sangat sedikit akan dimanfaatkan oleh pengusaha untuk mengeksploitasi dan menekan para pekerja. Janganlah pekerja selalu ditempatkan pada posisi yang sangat lemah dalam suatu hubungan industrial.
Beberapa tuntutan buruh berskala nasional yang muncul dalam perayaan hari buruh tahun ini adalah;
- Revisi UU No. 3 / 1992 tentang Jamsostek, dengan menambah dua program, yakni tunjangan pengangguran dan dana pesangon.
- Kembalikan deviden pemerintah untuk kesejahteraan buruh
- Penghapusan system kerja kontrak
- Pengawasan perlindungan terhadap pekerja
- Hapus peraturan – peraturan yang tidak memihak buruh
- Menghentikan penyimpangan praktik outsourcing dan buruh kontrak
- Mengoptimalkan peran Peradilan Hubungan Industrial (PHI) agar tidak bertele – tele, mahal, dan tidak adil
- Meminta agar hari buruh internasional dijadikan hari libur nasional
- Meminta adanya kebebasan berserikat bagi buruh
Satu hal yang menarik perhatian penulis dalam aksi demo buruh ini adalah, begitu sulitnya Penguasa / Pengusaha mau memenuhi tuntutan buruh, yang mana tuntutan itu nyata–nyata hak kaum buruh.
Jangankan langsung memenuhi tuntutan yang bersifat materi (kesejahteraan), untuk berdialog dan menemui para demonstran saja susah sekali.
Hal ini dapat dilihat pada waktu demonstran meminta ingin berdialog langsung dengan Gubernur DKI Jakarta di Kantor Gubernuran, Sutiyoso kelihatannya seperti bermain api, mengulur–ulur waktu.
Setelah para demonstran mulai “panas†dan ingin merangsek pagar Gubernuran yang dijaga aparat polisi dan tramtib Pemprov DKI secara berlapis, barulah Sutiyoso turun menemui para demonstran.
Inipun sudah hampir memakan korban, karena salah seorang pendemo sempat pingsan karena terjepit diantara dua kekuatan yang saling berhadapan.
Pertanyaannya, apakah Penguasa / pengusaha baru mau berdialog atau menemui buruh / karyawannya harus menunggu jatuh korban dulu? Apa sulitnya turun dan lihatkan simpati atas perjuangan rakyat kecil / buruh? Mengapa gengsi harus dipertahankan?, toh akhirnya turun / menemui pendemo juga? Bukankah pimpinan itu harus bertanggung jawab dan memikirkan serta mensejahterakan rakyatnya / pekerjanya?
Dan sederet pertanyaan lain, yang intinya betapa mahal harga sebuah “egoâ€.
Padahal, ditengah ribuan buruh yang menginginkan dialog dan ingin mendapat jawaban langsung dari pemimpinnya, Sutiyoso malah dielu–elukan, bak seorang pahlawan yang baru pulang dari medan perang.
Ya, Sutiyoso layak diberi apresiasi atas dipenuhinya beberapa tuntutan buruh yang sifatnya regional dan masih dibawah kewenangannya, seperti segera dibayarkannya upah pekerja Ambulan 911 yang belum dibayar Pemda DKI selama 4 bulan, dan lain – lain yang sifatnya regional.
Sementara untuk tuntutan buruh yang bersifat nasional, Sutiyoso berjanji akan memfasilitasi dan mendukung sesuai kewenangan dan kemampuannya.
Setelah berorasi sekitar lebih kurang 10 menit, Sutiyoso pun turun diiringi tepuk tangan yang meriah dari pekerja, tak lupa dia meminta agar buruh tetap melanjutkan aksinya dengan damai.
Melihat begitu banyak dan beragamnya organisasi pekerja yang merayakan hari buruh, serta melakukan demo ke berbagai instansi berwenang, seperti Departemen Tenaga Kerja, DPRD, DPR, Kantor Walikota dan Gubernuran, bahkan ke Istana Presiden dan Wapres, adalah suatu hal yang patut kita syukuri bahwa peringatan hari buruh tahun ini dapat berakhir dengan damai.
Tidak terjadi kerusuhan dan perusakan fasilitas umum seperti tahun – tahun sebelumnya. Buruh Indonesia sudah selangkah lebih maju, dan mereka telah membuktikan aksi mereka adalah aksi damai.
Tidak dapat dipungkiri suasana damai ini tentu tidak akan tercipta tanpa partisipasi aktif dari pengusaha yang telah mengizinkan dan atau memberi cuti pekerjanya untuk ikut merayakan hari buruh.
Buruh Indonesia teruslah berjuang…..!!!.
***Harmen Mesta