“Apa ya prospeknya bagus, sih, bisnis melalui internet..?” demikian sebuah pertanyaan menarik muncul dari mulut pemilik toko langganan saya ketika saya membutuhkan segala macam kebutuhan peralatan komputer.

Dari beberapa kali ketemu, saya dan pemilik toko ini terlibat pembicaraan mengenai kegiatan kita masing-masing. Saya pun sempat bercerita kalau saya dan istri saya, juga saat ini sedang menekuni usaha penjualan barang di internet. Dan sampailah dia, sang pemilik toko pada pertanyaan seperti diatas.


Hmm, kenapa dia bertanya seperti itu? Selidik punya selidik, rupanya teman pemilik toko komputer ini, pernah punya pengalaman buruk berbisnis via internet. Dia bercerita beberapa tahun lalu juga pernah menjalin kerjasama dengan pemasok alat komputer yang didapatnya dari internet. Antara dia dan sang pemasok belum pernah sekalipun bertatap muka, mereka hanya saling kontak melalui online-order, bayar melalui ATM, kemudian barang dikirim dari Jakarta ke Solo.

Sekali dua kali tak ada masalah, tapi berjalan setelah beberapa kali, selalu saja terjadi ketidakpuasan teman saya pemilik toko ini. Barang yang dikirim selalu saja berbeda dari spesifikasi yang dijanjikan, kadang jumlahnya berkurang, beberapa kali barang yang dikirim rusak, dan mulai sering menukar spesifikasi dengan merk lain tanpa pemberitahuan sebelumnya. Setiap dilakukan konfirmasi dan komplain kepada toko-online ini, jawaban yang didapat selalu membuat kecewa. Sampai kemudian setahun lalu dia memutuskan untuk tidak lagi melakukan order via internet.

“Lho, sampai segitunya..?” pikir saya. Dia seorang pengusaha komputer, sering terkoneksi ke dunia maya. Tapi yang dilakukan hanya browsing dan kirim e-mail, tak ada lagi transaksi e-sales disana. Bukankah sebuah kemunduran dalam kita berbisnis memanfaatkan internet? Ternyata pengalaman dia tidak hanya itu, dia juga pernah beberapa kali beli barang, sudah bayar via kartu kredit, barang yang dikirim beda.

Tercenung saya dibuat oleh penjelasannya. Antara perasaan sedih dan sedikit pesimis akan e-bisnis. Saya memang sering membaca bahwa betapa orang Indonesia telah dicap buruk oleh kalangan e-bisnis. Begitu banyak sudah kasus yang pernah saya dengar dari yang memang berwujud penipuan, sampai yang bersifat halus berupa ‘ketidakjujuran’ dan ‘perilaku tanpa integritas’. Sebuah kondisi yang ‘membuat rusak susu sebelanga’ sehingga banyak orang –juga orang Indonesia sendiri- susah untuk menaruh kepercayaan pada orang ‘disana entah dimana’ dengan toko on-line-nya.

Saya begitu menaruh kepercayaan besar pada Amazon.com, beberapa kali membeli buku disini pun tak pernah ada kekecewaan. Sejak saya bertransaksi, mereka selalu mengirim e-mail mengenai status pesanan saya. Dari kondisi stok, saat pengiriman, perkiraan kedatangan, dsb. Saya juga tahu bahwa e-mail itu adalah jawaban otomatis yang diseting demikian oleh sistem, tapi itu bukti bahwa mereka menganggap begitu penting rasa percaya orang terhadap mereka.

Saya juga punya kenalan yang sering beli buku ke Amazon.com. Ketika kenalan saya ini saya beritahu bahwa ada juga toko buku on-line dikelola oleh orang Indonesia. Jawabannya cukup singkat, “Ah, enggak ah..” demikian katanya.

Memang pertumbuhan jumlah orang Indonesia yang terkoneksi dengan internet begitu mengembirakan. Tapi pemanfaatan internet sebagai transaksi bisnis tidak sebagus pertumbuhan jumlah orang kita yang hanya memanfaatkan internet untuk browsing, blogging, dsb. Dan bagi para pebisnis Indonesia yang mencoba menekuni bisnis sampai kepada transaksi via internet seakan harus berjuang dari titik nol. Berjuang dari kondisi paling dasar layaknya seorang pebisnis konvensional, yaitu membangun kepercayaan!

Dan sebuah pengertian paling mendasar, bahwa kepercayaan adalah buah yang akan kita petik, hanya jika bila kita menanam dengan tekun yang bernama ‘kejujuran’ dan ‘integritas’. Dan orang yang melakukan usaha, apapun usaha itu, entah itu bisnis untuk menghasilkan profit, menjalin relasi, menciptakan personal branding, seolah pintu agar semua itu berjalan lancar butuh sebuah anak kunci. Dan ibarat anak kunci itu adalah yang dinamakan ‘kepercayaan’. Sehingga keterkaitan logikanya bisa disimpulkan dengan kalimat sederhana: jujur dan berintegritas berbuah kepercayaan, kepercayaan berbuah usaha lancar! Dan misalnya usaha itu bila dicontohkan dengan bisnis laba, maka profit dan kekayaan finansial hanyalah masalah waktu tentunya.

Jujur dan berintegritas..,huh.. Sederhana diucapkan, tapi kalau kita menjalani keseharian dan berusaha berkomitmen dengannya, mungkin juga tidak mudah mempraktekannya. Kenapa ‘jujur’ dan ‘berintegritas’ harus bertemu? Mari kita kupas sedikit makna katanya.

Definisi paling enak dimengerti, menurut saya adalah definisinya Covey yang mengartikan ‘jujur’ dengan conforming our word to reality, terjemahan bebasnya kurang lebih: ‘kita mengatakan seperti apa realitasnya’. Sedang ‘integritas’ adalah conforming reality to our word, atau bisa diartikan dengan: ‘kita melakukan seperti apa yang kita katakan’. Bila saya mengatakan definisinya dengan bahasa Indonesia, mungkin anda sedikit kesulitan untuk melihat korelasi keduanya. Tapi ketika anda melihat definisinya dengan bahasa Inggris, anda akan langsung tahu bahwa keduanya berhubungan. Berhubungan dalam artian bahwa orang yang dikatakan jujur seharusnyalah juga orang yang memilki integritas, dan orang berintegritas hanya akan terbukti bila dia berkata jujur. Bingung? Mari kita lihat contohnya.

Ketika anda melihat sendiri si A korupsi, dan kemudian anda berkata kepada orang lain bahwa yang korupsi adalah si A, itu namanya anda jujur. Kemudian ketika anda selalu berkata kepada orang bahwa perbuatan korupsi itu salah, dan anda tidak pernah sama sekali korupsi, itu namanya anda termasuk orang yang memiliki integritas. Coba kita lihat keterkaitannya satu sama lain, dengan sedikit kita bermain-main ilmu logika. Orang yang mengatakan korupsi itu salah, seharusnyalah bila memang dia melihat A korupsi, dia harus jujur mengatakan si A korupsi. Dan orang yang berani berkata si A korupsi dan itu salah, hanya akan bisa dipercaya bila memang dia tidak pernah korupsi.

Kembali ke masalah kita, mari kita lihat kecenderungan bisnis saat ini bahwa dengan konsumen yang semakin kritis, orang akan cenderung loyal kepada produk yang justru diinformasikan apa adanya, manfaat dan keterbatasannya.

Saya masih ingat, pada sebuah training tentang costumer satisfaction beberapa tahun lalu, ada sebuah informasi menarik bahwa tren saat ini, kostumer bukan membeli produk, tapi membeli solusi atas kebutuhan mereka. Dan seorang pemasar yang jeli harusnya selalu mengedepankan informasi bahwa produk yang mereka pasarkan memberikan sebuah value berupa solusi atas kebutuhan mereka. Saya pikir, tidak mungkin sebuah produk diciptakan untuk mengatasi semua masalah, karena itulah mengapa memasarkan produk selalu bicara masalah segmentasi. Dari contoh inilah kemudian konsekuensi logisnya adalah menawarkan produk secara jujur, apa adanya.

Apa yang saya rasakan sendiri, pada profesi saya sebagai engineer. Bila ada salesman alat-alat teknik datang ke saya menawarkan produknya. Saya cenderung lebih suka kepada salesman yang secara jujur memperlihatkan semua kelebihan dan keterbatasan produknya, manfaat dan konsekuensi bila saya memilih produknya. Daripada tipe salesman yang selalu bercerita bahwa produknya seakan ‘bisa melakukan apa saja’.

Demikian juga mengenai sikap integritas. Seperti apa yang pernah diceritakan teman saya pemilik toko komputer diatas. Dia pernah bercerita bahwa semua asesori komputer yang dibelinya melalui pemasok via internet, bergaransi satu tahun. Ketika dia sebelum bertransaksi mencoba memastikan apa yang dimaksud dengan garansi, dia hanya mendapat jawaban pokoknya ‘rusak barang diganti’. Tapi kemudian apa yang terjadi saat barang yang diterima rusak. Selain sistem administrasi penerimaan komplain yang seolah lempar sana lempar sini, teman saya ini akhirnya tahu bahwa garansi hanya berlaku dengan begitu banyak persyaratan. Sesuatu yang tidak pernah disebutkan di depan.

Sekali lagi, kita hanya akan dilihat orang ketika kita menjual produk secara benar. Dan jangan salah, kalau saya mengatakan produk bukan berarti itu hanya berlaku bagi anda yang berbisnis menjual barang atau jasa. Bila anda adalah karyawan, seniman, pejabat, pegawai negri, anda juga punya produk. Yaitu semua hal yang ada pada anda, keahlian, ketrampilan, motivasi anda, attitude anda, perilaku anda…

Dan jujur dan memiliki integritas bisa dipastikan termasuk cara ‘menjual’ produk dengan benar. [pa]


[www.pembelajar.com]


"Jujur dan Integritas Itu"   |   Dibaca 446 kali   |   1 Komentar    |   Login untuk berkomentar   

Komentar

User Image
@djaelani pada 20 Februari 2007 - 17:41
Kondisi perusahaan kita makin tahun makin memprihatinkan, apakah ini ada kaitannya dengan integritas pengelola dan karyawannya?

Jika jawabannya "Ya", maka sangatlah tepat bila BOD memasukkan "integritas" sebagai salah satu nilai bersama (share values). Bahkan Direksi, secara konsisten berperan sebagai role model dalam memberi contoh, baik dalam bicara maupun bertindak. Tentu saja sifat-sifat terpuji ini dicontoh habis oleh para pejabat setingkat di bawahnya. Tetapi, yaitu, kinerja kita masih belum menunjukan hasil-hasil yang memadai. Lalu apa yang salah dengan perusahaan ini?

Saya ingin bertanya pada Anda dan saya berharap tidak ada dusta diantara kita, sebetulnya -dalam skala 1 sampai 10- berapa sih nilai integritas:

1. Direksi,
2. Eselon 1.
3. Karyawan di bawah eselon 1.?


Mochamad Djaelani (yang ini nggak perlu diukur)