Kemarin manajemen meminta saran dan kritik kepada karyawan lewat SMS, sekarang kritik dan saran diubah menjadi aspirasi, lalu apa bedanya?

“Kritik lebih bersifat mengecam, jadi siapa sih orang yang mau dikritik?”

“Lalu bagaimana dengan saran?”

“Saran, makin banyak saran yang masuk dapat menimbulkan kesannya bahwa kita ini guoblok banget.”

“Lalu apa bedanya dengan aspirasi?”

“Nah kalau aspirasi lain lagi, ini berkaitan dengan cita-cita, misalnya: saya ingin posisi direksi yang sekarang dipertahankan, karena mereka terbukti bisa bekerja secara profesional, sehingga perusahaan ini maju pesat.”

“Kedengarannya enak ditelinga direksi, tapi nggak enak buat mereka yang ngebet ingin jadi direksi.”

“Memang kita harus pandai membawa diri, lupakan mereka yang sudah kebelet ingin jadi direksi, pada dasarnya mereka itu masih calon sama seperti kita, jadi kalau kita pikirkan..terlalu banyak.”

“Dalam pertemuan di Serikat Pekerja dalam rangka menetapkan kriteria direksi yang lalu, terucap pernyataan ‘Saya setuju direksi berasal dari dalam, asal jangan yang tiga sekarang’, Pertanyaannya, apakah ini kritik, saran, atau aspirasi?”

“Tentu saja ini adalah aspirasi.”

“Kok kedengarannya nggak enak buat direksi”

“Ya, jika kita hanya mendengar potongan pernyataan tersebut.”

“Kalau gitu lengkapnya seperti apa dong?”

“Saya setuju direksi berasal dari dalam, asal jangan yang tiga sekarang, karena ketiganya mempunyai kompetensi yang sangat hebat, jadi sayang kalau dikaryakan diperusahaan kecil seperti ini. Mereka pantas untuk memimpin TELKOM atau INDOSAT bahkan cocok untuk menduduki posisi menteri, misalnya Menteri Perdagangan, Menteri Manufaktur, dan Menteri Services.”

“Ya kalau gitu saya setuju itu sebagai kategori aspirasi, karena menyenangkan buat direksi maupun calon direksi. Memang sebaiknya aspirasi bukan kritik atau saran.”

Tata Buhan

Kira-kira seperti itulah gaya tulisan Tata Buhan dkk. (Ade Z, Roy, Cecep, Neneng dll).

Tata Buhan dkk. adalah para penulis kritik di Jaring.net pada forum Warung Kopi –yang sekarang sudah dibredel-, mereka harus rela menerima stigma sebagai tokoh jahat dari manajemen atau bagian dari komunitas tokoh hitam.

Kemuliaan? Ya, kemuliaan Tata Buhan itu terepresentasikan lewat sikap kritis terhadap manajemen perusahaan. Kritisme Tata Buhan meniscayakan bahwa manajemen perusahaan merupakan lembaga yang berfungsi menyeimbangkan kepentingan para stakeholder secara adil. Keniscayaan itu merupakan perlawanan diskurs dan praksis kekuasaan yang (cenderung) korup, keji, anti keadilan, dan kurang mampu mengapresiasikan nilai-nilai ideal. Dalam kubangan kegelapan itu Tata Buhan dan kawan-kawan hadir membawa pencerahan.

Tata Buhan dkk. secara cerdas dan jenaka “menelanjangi” tokoh-tokoh penting dalam perusahaan hingga nampak ketololan dan kenaifannya dari balik ambisi kekuasaan mereka.

Tapi, secerdas dan sepenting apa pun kritik itu, ia tetaplah dianggap ancaman bagi kekuasaan, pada level perusahaan maupun level personal. Kritik itu pahit. Padahal, lidah kekuasaan terlanjur biasa mencecap rasa manis. Kritik itu merisaukan. Padahal, telinga kekuasaan lebih suka hal-hal yang menyenangkan, misalnya pujian. Tetapi justru pahit dan merisaukan, kritik mengandung unsur-unsur kimiawi kultural yang menyehatkan jiwa dan raga. Dari pahitnya kritik, orang atau kekuasaan akan terbuka untuk melihat realitas secara objektif. Dari kerisauan yang ditimbulkan kritik, orang atau kekuasaan akan menyadari berbagai anatomi kekuasaan yang selama ini macet dan disfungsional atau langkah-langkahnya yang disoriented.

Kritik yang selalu diwacanakan Tata Buhan, berupaya memproyeksikan realitas ideal yang bisa dijadikan sebagai acuan/ orientasi nilai bagi para aktor kekuasaan. Dan dari sana akan menyembul harapan. Erich Fromm merumuskan, harapan merupakan unsur yang sangat penting dalam setiap upaya mengadakan perubahan sosial agar menjadi lebih hidup, lebih sadar, lebih berakal….

Orang mempunyai harapan (menjadi) kurang berminat terhadap kenikmatan dan kejahatan; orang yang mempunyai harapan memandang dan sangat menghargai semua tanda-tanda kehidupan baru dan selalu siap membantu kelahiran apapun yang bisa dilahirkan.

Namun, kekuasaan yang cenderung bekerja secara induktif (berangkat dari ukuran-ukuran subjektif) selalu percaya diri bahkan arogan di dalam membangun realitas sehingga tidak mau menyerap berbagai tawaran nilai dan pemikiran dari luar dirinya. Alasannya adalah pertama, penguasa tidak mau berbagi atas semua aset kepada pihak lain atau takut kehilangan sebagian dari miliknya. Kedua, secara tidak sadar, penguasa selalu berusaha menjaga kewibawaannya melalui berbagai pemaksaan sejumlah agenda kepentingan dirinya meskipun hal itu berlawanan dengan dengan konsesus, aturan main, perundangan-undangan, etika, moral, dan hukum (misal, orang didudukan pada jabatan tertentu sementara pangkatnya belum memenuhi persyaratan jabatan tersebut). Disini, penguasa mengatasnamakan kompetensi, sementara sistem menjadi hancur, karyawan tidak tahu lagi bagaimana merencanakan karir mereka, karyawan menjadi pihak yang tidak memiliki posisi tawar kuat, padahal karyawan adalah salah satu stakeholder kunci. Berbagai tragedi sosial yang menimpa karyawan (pemotongan uang cuti yang sudah dibayarkan, pemotongan bonus untuk uang muka rumah tanpa pernah ada realisasinya) merupakan ilustrasi getir dan buram dalam posisi tawar karyawan yang sangat rendah.

Tata Buhan gelisah melihat berbagai ironi pahit itu. Tetapi ia tak mampu berbuat apa-apa ketika berbagai asupan kritik yang ditawarkan kepada direksi dan para pangeran maupun pada direksi bayangan, tak pernah disentuh apalagi diapresiasi, lebih tragis lagi, sarana –warung kopi- untuk menyampaikan kritik pun dibrangus, sehingga kritik yang mengandung unsur-unsur kimiawi kultural yang menyehatkan jiwa dan raga pun lenyap. Wajar jika kita bisa mencapai target peningkatan penurunan margin yang signifikan.

“Tapi saya melihat banyak pegawai perusahaan ini yang hidupnya makmur: mobil bagus, rumah mewah, dan gaya hidup yang eksklusif.”

“Itu adalah bukti kemana margin yang semakin kecil mengalir.”

Dipojok dan selalu dipojok dan dipojokkan, sang Tata Buhan sejati berdiri termanggu. Matanya basah, dan pelan-pelan meninggalkan istana yang riuh dengan proyek proposal yang minus akuntabilitas. Tata Buhan pun mengembara, mengabarkan berbagai kesaksian lewat langit, tanah, batu-batu, pasir, gelombang laut, pohon-pohonan….


oleh:
Mochamad Djaelani
================================



"Kritik, Saran, dan Aspirasi"   |   Dibaca 637 kali   |   2 Komentar    |   Login untuk berkomentar   

Komentar

User Image
@djaelani pada 9 November 2006 - 09:18
Om Dave,
yang nulis itu saya, Mochamad Djaelani dari desa Cibiuk.

Saya juga heran, kenapa nggak ada dialog box yang menanyakan pengirimnya. Jadi send aja.

Jika nggak keberatan tolong tuliskan di bawah akhir tulisan nama saya. (siapa tau dapet door prize)

Mochamad Djaelani
 
User Image
@dave pada 9 November 2006 - 15:51
OK Trims Pak Djaelani.