“If you wish to be fully alive you must develop a sense of perspective. Life is infinitely greater than this trifle your heart is attached to and which you have given the power to so upset you”
-Anthony de Mello-

Dalam sebuah perusahaan terjadi diskusi yang begitu panjang antara Serikat Pekerja dan Pihak Manajemen Perusahaan. Mereka sudah mengadakan pertemuan 1 bulan, tetapi belum juga menghasilkan output yang signifikan. Saat itu mereka membicarakan sistem penggajian yang baru. Pihak Serikat Pekerja terkesan selalu “tidak percaya” kepada Pihak Manajemen Perusahaan, yang diwujudkan melalui pertanyaan-pertanyaan seputar dasar pemikiran, justifikasi dan hal-hal yang tidak begitu penting.
Pertanyaan-pertanyaan ini sering membuat kesal Pihak Manajemen, sehingga secara tidak disadari, emosi negatif sering terpancing. Hal ini justru membuat Serikat Pekerja menjadi mempunyai “posisi di atas angin”. Sebagai akibatnya, kondisi sebaliknya terjadi di Pihak Manajemen Perusahaan, yang merasa bahwa Serikat Pekerja dianggap sebagai “ancaman”, dan sekaligus membuat sebagian dari mereka menjadi stres.

Apakah hal tersebut atau hal yang serupa dengan hal tersebut di atas pernah anda alami atau anda lihat? Saya tidak berharap bahwa peristiwa ini tidak terjadi di perusahaan anda.

Contoh peristiwa tersebut dapat disolusikan melalui teknik dan prinsip New Code NLP yang dikembangkan oleh John Grinder & Judith deLozier (kita hargai teknik ini dengan menyebut nama mereka), yang saya sebut dengan Perception Solution, yang mula-mula dikembangkan untuk strategi win-win negotiation.

Sederhananya, dalam strategi ini kita hendaknya mampu menempatkan diri kita sebagai orang pertama (posisi I), orang kedua (posisi II) dan orang ketiga (posisi pengamat). Pada contoh diatas, dilihat dari sisi Serikat Pekerja (SP), posisi I adalah SP itu sendiri, posisi II adalah Manajemen Perusahaan, posisi III adalah bisa jadi adalah “karyawan”. Pada prinsipnya, SP harus berpikir dan membayangkan ketiga posisi tersebut sekaligus.

Ketika SP tetap ngotot untuk membahas hal-hal kecil yang sebenarnya mempunyai dampak yang sangat kecil, maka SP sebenarnya hanyalah berada dalam posisi I, sama sekali tidak membayangkan sebagai posisi II. Akan lain keadaannya, bila SP dalam posisi II, yang ternyata berdampak pada perubahan struktur organisasi dan penggantian sekian SK (Surat Keputusan) yang berdampak pada effort yang sangat besar. Akan lain keadaannya, karena bila dipandang dari posisi karyawan (posisi III), dimana sebenarnya karyawan juga tidak terlalu membutuhkan hal yang dimaksud.

Pertanyaan berikutnya, apakah wajar SP seolah-olah mempunyai “posisi di atas angin” yang melebihi “wewenang” Pihak Manajemen? Lagi-lagi ini adalah akibat SP hanya berpikir sebagai posisi I, tidak memperdulikan dirinya sebagai posisi II dan III. Bagi posisi III yang netral, mungkin orang akan mengatakan bahwa SP terlalu dominan, tidak pada tempatnya.

Bila SP tetap berpegang pada pendiriannya, anda tentu sudah dapat menebak apa yang terjadi. Begitu banyak man-hour effort yang terbuang dalam 20 orang rapat selama sekian hari dalam sebuah hotel berbintang (berapa puluh juta rupiah kalau dikonversikan ke uang?). Belum juga dihitung intangible emotional problem yang terjadi di antara keduanya, hubungan antar personal yang semakin menjauh, kesal, malas berkomunikasi, dan sebagainya.

Pertanyaan, apakah memang kondisi jauhnya hubungan personal dan emotional problem ini adalah memang tujuan yang dikehendaki? Tentu tidak bukan? Sering kita tidak menyadari bahwa dalam penyelesaian sebuah masalah, akan timbul masalah baru, kalau kita tidak berpegang ada prinsip “3 position perceptions” ini.

Dampak problem ini menjadi semakin besar apabila hal ini terjadi pada level puncak perusahaan, karena kesalahan keputusan dapat menyebabkan “kehilangan” waktu, dana dan kepercayaan yang jauh lebih besar, karena menyangkut pada ruang lingkup yang jauh lebih luas.

Dalam scope yang lebih kecil, hal serupa juga sering saya alami pribadi ketika masih bekerja di sebuah BUMN di Bandung pada pekerjaan rutin, yaitu rapat antar departemen. Para peserta rapat seolah-olah “berlomba-lomba” untuk mengeluarkan pendapatnya, mempertahankan pendapatnya, walaupun sering bahwa sebenarnya pendapatnya ini melenceng jauh dari tujuan rapat semula.
Saya yakin sebagian di antara anda juga pernah mengalami suasana rapat yang saya gambarkan
ini. Rapat menjadi tidak efektif dan hasilnya juga tidak optimal. Tentu saja peran pimpinan rapatlah yang harus mengendalikan keadaan ini.

Suasana rapat terlihat berbeda ketika penulis bekerja bersama orang Jerman dan Amerika beberapa tahun yang lalu ketika masih sebagai engineer dan manager di perusahaan telekomunikasi. Orang-orang “bule” tersebut lebih efisien dalam rapat. Kalau materi tidak di dalam agenda rapat, mereka tidak bersedia menanggapi. Mereka selalu kepada “goal oriented”, dan mereka seolah-olah sudah dapat membayangkan dampak yang terjadi sebelum mereka angkat bicara. Satu lagi yang penting, mereka hampir tidak pernah menyinggung masalah personal dalam rapat.

Aplikasi perception solution ini sebenarnya sangat luas, tergantung situasi dan kondisi, misalnya dalam menghadapi klien, customer service, coaching & counseling, management meeting, marketing, conflict resolves management, dan lain-lain. Problemnya adalah, habitual thinking kita yang selama ini terbentuk akibat “pengkotakotakkan” dalam bentuk Bagain, Divisi, SBU dan sebagainya yang cederung lebih kepada mempertahankan ego kelompoknya. Tentu hal inipun bagus untuk kemajuan. Namun, bila perception position itu imbalance (tidak seimbang), masalah menjadi muncul tanpa kita sadari.

Membaca apa yang penulis uraikan di atas, kiranya pembaca mendapatkan gambaran untuk dapat memperbaiki keadaan perusahaan dimana pembaca berada, dan meningkatkan peran anda sebagai “agent of change” yang diharapkan perusahaan.

Benar kata Anthony de Mello di atas, kita harus lakukan sense of perspective agar fully alive untuk kemajuan diri sendiri dan perusahaan kita masing-masing!

oleh: Adhi Susilo - adhisuccess at yahoo dot com

Pembicara Publik, Master Praktisi & Trainer NLP & NAC sejak 2002.
Firewalker Trainer, peserta lebih dari 3000 orang dalam 2 tahun terakhir.
Mantan karyawan, Manager dan Direktur di sebuah industri Telekomunikasi (17 tahun).
Murid langsung Anthony Robbins USA


"Perception Solutions"   |   Dibaca 302 kali   |   0 Komentar    |   Login untuk berkomentar   

Komentar