Dikirim pada 2006-04-04 12:32:07 Oleh Admin
Upaya pemberantasan korupsi yang sangat agresif dikalangan dunia usaha, hampir melumpuhkan sebagian besar kemampuan eksekutif didalam mengambil keputusan. Ada perbedaan pandangan mengenai apa yang dimaksud dengan tindak pidana korupsi (tipikor) antara pelaku bisnis sebagai pengelola perusahaan dengan penegak hukum yang memiliki wewenang dalam pemberantasan korupsi. Perbedaan ini membuat banyak eksekutif menjadi takut dalam mengambil keputusan bisnis. Keadaan ini sangat tidak kondusif bagi pertumbuhan ekonomi dunia usaha.
Kondisi yang demikian memunculkan berbagai pemikiran penting yang dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam mencari solusi yang terbaik bagi semua pihak yang berkepentingan.
Yang pertama perlu mendapatkan perhatian adalah mengenai pengertian korupsi. Parameter mengenai kerugian negara menimbulkan perdebatan, karena penegak hukum dan praktisi bisnis menggunakan parameter yang berbeda.
Kedua adanya perbedaan pemahaman antara suatu tindak pidana korupsi mengenai kerugian negara yang diakibatkan oleh kecurangan (fraud) dengan kerugian negara yang diakibatkan oleh risiko bisnis. Pertanyaan yang sering didengar adalah apakah kesalahan dalam mengambil keputusan (business decision) yang menyebabkan BUMN mengalami kerugian termasuk kedalam kategori kerugian negara ? Apakah kerugian suatu BUMN atau lebih ekstrim lagi tidak tercapainya laba yang ditargetkan yang pada hakikatnya sering merupakan suatu risiko bisnis adalah merupakan kerugian negara ?
Hal lainnya yang perlu mendapatkan perhatian adalah bahwasanya BOC dan BOD harus memahami secara utuh mengenai proses penegakan hukum dan bagaimana memperoleh perlakuan yang baik didalam menjalani proses hukum. Yang dimaksudkan dengan pernyataan ini adalah bahwa BOC dan BOD memahami secara utuh mengenai peraturan perundangan yang berlaku khususnya yang berkaitan dengan tanggung jawab hukum yang akan dipikulnya berkaitan dengan fungsi mereka sebagai pengawas dan pelaksana pengelolaan perusahaan.
Dalam executive summmary yang disajikan oleh Forum Komite Audit beberapa waktu yang lalu di Jakarta disampaikan bahwasanya langkah kongkrit awal yang harus dilakukan oleh BOC dan BOD agar terhindar dari ancaman sanksi "tindak pidana korupsi" adalah penerapan "good corporate governance" (GCG) secara menyeluruh dan konsisten. GCG hanya dapat diterapkan bila makna governance dipahami sebagai "stewardship" (pengelolaan/pengurusan), seperti layaknya seorang yang diserahi tanggung jawab atau amanah (fiduciary duty of care, dilligence and prudence). BOC dan BOD harus memahami sepenuhnya bahwa tanggung jawab atau amanah merupakan inti dari GCG. Wewenang mutlak mengandung akuntabilitas. Namun sangat disayangkan hal ini sering dilupakan oleh BOC dan BOD perusahaan khususnya BUMN. Suatu perusahaan yang tidak dikelola secara "prudent" atau tidak menerapkan GCG dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum yang artinya suatu perbuatan yang tidak patut menurut rasa keadilan masyarakat dan dapat dikategorikan merupakan perbuatan melawan hukum.
Kondisi yang demikian memunculkan berbagai pemikiran penting yang dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam mencari solusi yang terbaik bagi semua pihak yang berkepentingan.
Yang pertama perlu mendapatkan perhatian adalah mengenai pengertian korupsi. Parameter mengenai kerugian negara menimbulkan perdebatan, karena penegak hukum dan praktisi bisnis menggunakan parameter yang berbeda.
Kedua adanya perbedaan pemahaman antara suatu tindak pidana korupsi mengenai kerugian negara yang diakibatkan oleh kecurangan (fraud) dengan kerugian negara yang diakibatkan oleh risiko bisnis. Pertanyaan yang sering didengar adalah apakah kesalahan dalam mengambil keputusan (business decision) yang menyebabkan BUMN mengalami kerugian termasuk kedalam kategori kerugian negara ? Apakah kerugian suatu BUMN atau lebih ekstrim lagi tidak tercapainya laba yang ditargetkan yang pada hakikatnya sering merupakan suatu risiko bisnis adalah merupakan kerugian negara ?
Hal lainnya yang perlu mendapatkan perhatian adalah bahwasanya BOC dan BOD harus memahami secara utuh mengenai proses penegakan hukum dan bagaimana memperoleh perlakuan yang baik didalam menjalani proses hukum. Yang dimaksudkan dengan pernyataan ini adalah bahwa BOC dan BOD memahami secara utuh mengenai peraturan perundangan yang berlaku khususnya yang berkaitan dengan tanggung jawab hukum yang akan dipikulnya berkaitan dengan fungsi mereka sebagai pengawas dan pelaksana pengelolaan perusahaan.
Dalam executive summmary yang disajikan oleh Forum Komite Audit beberapa waktu yang lalu di Jakarta disampaikan bahwasanya langkah kongkrit awal yang harus dilakukan oleh BOC dan BOD agar terhindar dari ancaman sanksi "tindak pidana korupsi" adalah penerapan "good corporate governance" (GCG) secara menyeluruh dan konsisten. GCG hanya dapat diterapkan bila makna governance dipahami sebagai "stewardship" (pengelolaan/pengurusan), seperti layaknya seorang yang diserahi tanggung jawab atau amanah (fiduciary duty of care, dilligence and prudence). BOC dan BOD harus memahami sepenuhnya bahwa tanggung jawab atau amanah merupakan inti dari GCG. Wewenang mutlak mengandung akuntabilitas. Namun sangat disayangkan hal ini sering dilupakan oleh BOC dan BOD perusahaan khususnya BUMN. Suatu perusahaan yang tidak dikelola secara "prudent" atau tidak menerapkan GCG dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum yang artinya suatu perbuatan yang tidak patut menurut rasa keadilan masyarakat dan dapat dikategorikan merupakan perbuatan melawan hukum.