Bandingkan dua kisah Budi dan Wito berikut. Budi, web desainer, baru bekerja pada sebuah perusahaan penyedia jasa internet. Kebetulan mereka mendapat banyak pesanan pembuatan home page. Sayangnya jumlah komputer yang tersedia sangat terbatas sehingga mereka saling berebut komputer untuk menyelesaikan pesanan agar tepat waktu. Beberapa proyek yang ditangani Budi seringkali terlambat sehingga ia mendapat keluhan dari kostumernya. Kondisi ini membuat berang atasannya yang kemudian menanyakan mengapa hal demikian sampai terjadi. Budi pun mengeluhkan keadaan bahwa ia selalu tak kebagian komputer
yang senantiasa diserobot rekan-rekan yang lain. Bukannya menerima alasan tersebut, atasan Budi malah bertambah berang dan mengatakan bahwa ia tak becus berkoordinasi dan berbagi jadwal dengan para pengguna lain.
Sementara itu, Wito bekerja sebagai satpam di sebuah pertambakan udang yang sangat luas. Salah satu tugasnya adalah melakukan patroli ke seluruh lokasi. Persoalan yang mereka hadapi sama dengan yang dihadapi oleh Budi dan rekan-rekannya, yaitu kurang memadainya peralatan transportasi. Mereka hanya memiliki beberapa buah sepeda kayuh saja. Namun demikian, sebagai penanggungjawab keamanan, Wito berusaha melakukan pengaturan penggunaan sepeda. Secara bergiliran mereka berpatroli dan menentukan di pos-pos mana mereka dapat berbagi sepeda sehingga tak ada bagian lokasi yang terlewati. Setiap anggota satpam diminta untuk menyadari kondisi yang ada dan bersedia mengikuti rute yang telah ditentukan.

Siapakah yang lebih sukses? Budi atau Wito? Budi memang memiliki keahlian namun sikap dan perilakunya tidak menunjang keahliannya sehingga kesuksesan tak kunjung datang. Sedangkan Wito justru mampu secara mandiri menyiasati kondisi yang berkekurangan yang dihadapinya. Boleh jadi kita menyepakati bahwa Wito lebih berhasil ketimbang Budi dalam menyelesaikan tugas-tugasnya.

Kegagalan Budi bukan karena komputernya digunakan oleh orang lain, namun karena ia tidak memiliki sikap yang positif yang mendorongnya untuk membicarakan persoalan tersebut secara terbuka dan mengajak rekan-rekannya memahami serta berbagi waktu penggunaan komputer. Tak sepatutnya ia berdiri di sudut sambil menyusun berbagai alasan guna membenarkan keterlambatannya. Ia dapat secara proaktif mendiskusikan hal ini bersama. Ini toh demi kepentingan perusahaan bukan kepentingan pribadi.

Sikap yang ditunjukkan Budi banyak dijumpai di sekitar kita. Mereka adalah orang-orang yang sangat tergantung dan tidak mandiri. Mereka mudah menyalahkan lingkungan dan orang lain. Ketika gagal mencapai target, mereka menyalahkan mesin yang kuno atau lambanlah. Ketika terlambat menyelesaikan deadline, mereka menunjuk orang lain sebagai sumber kemacetan. Ketika tak mampu menuntaskan proyek, mereka menyalahkan suplai yang keliru. Dan sebagainya. Mereka tidak mengakui bahwa menyusun beribu alasan untuk membenarkan kegagalannya sangatlah mudah namun sebenarnya kesalahan itu dalam di dalam diri sendiri. Sikap demikian menimbulkan konflik batin sekaligus konflik tim kerja yang tidak perlu. Selain itu perlu disadari bahwa sikap menyalahkan keadaan menunjukkan bahwa mereka mengakui sebagai korban keadaan, bukan sebagai pelaku aktif yang mampu mengubah keadaan.

Kita yang memiliki self esteem selalu menempatkan diri sebagai pelaku perubahan bukan sasaran penderita yang tak berdaya. Kegagalan kita adalah karena diri kita sendiri bukan melulu karena orang lain dan keadaan. Ini bukan berarti harus menyalahkan diri sendiri namun adanya suatu kesadaran untuk secara mandiri dan bebas memilih apakah mau membuka jalan bagi kesuksesan atau tetap mengeluh sebagai pecundang. (Rekan-Kantor)


"Sikap Menyalahkan Keadaan"   |   Dibaca 204 kali   |   0 Komentar    |   Login untuk berkomentar   

Komentar