Ada yang menarik di Jaring kita ini. Warung kopi menjadi tempat yang tidak diminati untuk bergosip. Sekarang bergeser ke kafe kendati nama penulis tetap hanya sekedar anonymous. Yang menarik dari bergesernya tempat adalah betapa sekarang "diskusi" lebih argumentatif, banyak yang tiba-tiba menuliskan gagasannya dengan tulisan yang menarik dan panjang, penguasaan bahasa penulisan sangat menarik dan tidak sekedar menulis singkat karena emosional belaka.
Oleh sebab itu, tidak ada salahnya saya. mencoba mengajukan pertanyaan untuk kita semua bahas.
Illustrasi:
Suatu ketika seorang teman (mohon maaf saya lancang menyebut teman, sebab beliau adalah pejabat) dengan sedikit menggerutu dia bercerita bahwa ia diturunkan pangkatnya menjadi Fungsional IV dari jabatan semula sebagai Ass. Man. Saya tercenung. Mungkin juga ucapannya betul. Akibat dari di"turunkan"nya menjadi fungsional IV, maka ia juga mengeluh gajinya turun tiga ratus ribu rupiah.
Saya tentu tidak habis pikir pula. Betapa sesungguhnya menjadi fungsional itu seperti "kiamat sugro" atau mungkin seperti derita yang berkepanjangan atau mungkin aib yang tidak tertahankan. Bahkan juga menjadi fungsional seperti jatuhnya harga diri. Seorang teman bahkan berbicara: kenapa temannya yang berhasil mendapatkan proyek tiba-tiba di FungSuskan. Saya tidak bisa menjawab atas pertanyaan tersebut. Namun dalam kesempatan yang tidak lama seorang teman (lagi-lagi saya mohon maaf menyebut teman, padahal ia pejabat) mengajak saya makan siang. Ia rupanya naik jenjang dari fungsional IV ke III. Saya mengucapkan alhamdulillah karena rejeki pertamanya telah saya nikmati.
Masih dalam kesempatan yang tidak terlalu jauh, seorang fungsional juga mengajak saya makan karena ia jadi fungsional dan terbebas dari pekerjaan me"menejemeni"orang. Jadi apa sih fungsional tersebut? Tolong beritahu saya! Wahyu G


"Fungsional : Sebuah Standar Ganda"   |   Dibaca 552 kali   |   9 Komentar    |   Login untuk berkomentar   

Komentar

User Image
@ pada 20 Mei 2002 - 07:39
Tulisan di bawah ini adalah buatan Kang Ade Z, yang ditulis pada 10 May 2002, di dalamnya terdapat analisis tentang fungsional dan layer. saya berharap dapat menambah keingintahuan Kang Wahyu tentang jabatan fungsional, selamat membaca!! dan saya tunggu komentar Kang Wahyu serta teman-teman yang lain agar bisa memberi peran yang berarti bagi para fungsional.


Cecep
(babaturan sa lembur)






Manajemen Akal(Skore: 0)
Oleh pada 10 May 2002 - 09:35 AM


Manajemen Akal


Anda( Anonymous) menulis:
"Hari ini ada lagi yang tersingkir, tersungkur dan bersyukur telah bebas dari Ujian tahap pertama hasil Peninjauan dan Penetapan kembali Pejabat Layer 3 & 4, tapi yang layer 2-nya nggak ada, ya ? padahal banyak juga yang tetep-tetep aje, malah banyak nuntut fasilitas tuh. Kapan ada lagi ya pa Jendral Laksamana Welch? Ditunggu progresnya."


Apasih artinya layer? Apakah itu menunjukan kehebatan -pengetahuan, prestasi, keahlian- atau kontribusi seseorang kepada perusahaan? Pakar yang segala macam tahu, Dr. Goultom, MBA. mengatakan bahwa Layer tidak sama dengan eselon. Sementara pakar SDM Dr. B. Hendriwani, MBA. mengatakan bahwa Layer tidak ada hubungannya dengan Grade. Saya yakin orang yang waras sekalipun akan mengatakan bahwa layer tidak ada hubungannya dengan prestasi, pengetahuan, usia dan kontribusi seseorang kepada perusahaan bahkan tidak ada hubungannya dengan apapun.

Kalau begitu, apa artinya layer? Apakah hanya keisengan manjemen SDM saja? Lalu, bagaimana mungkin kalau tidak ada hubungan mereka dibedakan kompensasinya? Sepertinya hanya akal-akalan saja?

Cara berpikir seperti itu menunjukkan bahwa kita telah banyak mempunyai akal. Ketika akal yang kita miliki sudah amat banyak, maka diperlukan cara bagaimana mengelolanya. Berdasarkan atas fenomena ini maka muncullah suatu cabang ilmu baru yang banyak dipelopori oleh pakar-pakar dari PT. INTI. Ilmu baru ini namanya Manajemen Akal-akalan. Dalam manajemen akal-akalan ada kaidah-kaidah yang harus dijunjung tinggi dan jika perlu disakralkan, yaitu don't blame other, dan ini harus terus didengung-dengungkan oleh para manajer dalam semua tingkatan, sehingga mencapai tingkat dimana menyalahkan orang lain haram hukumnya, selanjutnya ketika kesadaran kolektif ini muncul maka akan berkembang subur manajemen berdasarkan akal-akalan, sehingga lulusan sekolah ini mempunyai gelar MBA (Manajemen Berdasarkan Akal-akalan). Tujuan akhir dalam MBA adalah profit dikelola dengan cara menditribusikan berdasarkan layer. Makin tinggi layernya makin besar gaji, insentif, bonus dan failitas lainnya yang akan diterimanya, kita mengenal ini sebagai 'Hukum Fasilitas'. Kaidah lain dalam MBA adalah 'Bukan kerja keras tetapi kerja smart' ( santai, malas, asal-asalan, rakus, dan tekun sekali SPJ-nya ).

Ketika Anda (Anonymous) menggugat mengapa peninjauan kembali layer 2 tidak ada, saya sebagai orang yang tidak berlayer -karena sejak dulu saya menganggap layer itu tidak mencerminkan apa-apa dan merupakan pekerjaan iseng manajemen SDM- cukup terkejut ada orang seperti Anda yang ingin menggugat suatu kemapanan dan ini sungguh akan melanggar kaidah-kaidah di atas.

Bagi layer 2 yang menduduki jabatan, walaupun ditinjau berkali-kali akan tetap sangat sulit dicari kesalahannya karena mereka memegang teguh kaidah 'bukan kerja keras tetapi kerja smart'. Sementara layer 2 yang fungsional adalah manusia suci yang tidak pernah melakukan kesalahan. Alasannya, seperti kita ketahui bahwa kesalahan atau penyimpangan atau deviasi terjadi manakala tugas pokok tidak bisa diselesaikan tepat pada waktunya. Jadi jika seorang FK2 tidak pernah mempunyai tugas pokok yang in line dengan tujuan perusahaan, maka bisa dipastikan yang bersangkutan akan steril dari kesalahan, apapun yang dikerjakan -ada manfaatnya atau tidak- tidak ada seorangpun yang akan peduli, karena itu mereka tidak bisa digugat apalagi dilengserkan. Lagi pula bagaimana mungkin seorang pejabat bisa menilai bawahannya yang pengetahuannya lebih tinggi. Disini kita mengenal 'Hukum Pengetahuan', makin tinggi kedudukan seseorang maka berkurang satu stripe pengetahuannya dibandingkan bawahannya, karena makin tinggi seseorang menjadi makin banyak fasilitas yang diterima tetapi makin malas untuk belajar apalagi bekerja kecuali SPJ.

Terakhir, dengan mengatasnamakan kaidah bagi orang yang beradab dan yang sangat mulia, kita harus berlandaskan kepada kaidah menang-menang (win-win).
Tetapi jika tidak mungkin, -pilihan yang terbaik adalah bagi saya dahulu- yaitu saya menang Anda kalah (win-lose). Ini adalah pilihan orang setengah beradab yang banyak dianut di PT. INTI., termasuk oleh Serikat Pekerja jaman Sun Go Kong.
Tetapi Anda memilih, dari pada saya kalah lebih baik tidak ada yang menang (lose-lose), ini suatu pilihan yang biasanya dilakukan oleh orang yang tidak beradab. Tapi saya tahu ini mungkin pilihan terbaik saat ini dari seorang jenius seperti Anda dalam melawan Manajemen Berdasarkan Akal-akalan.



Ade Z
Tulisan ini didedikasikan kepada para sahabatku yang tertindas, teman-temanku yang rendah hati, para martir bagi hukum buatan A. Burhannudin., bagi hukum buatan B. Hendriwani dan bagi hukum buatan Sejati. Kau bersedih, dan kesedihanmu akibat dari ketidakadilan yang hebat, dari ketidakadilan sang hakim, dari tirani sang boss, dan dari keegoisan budak demi hawa nafsunya.

Jangan putus asa, karena di balik ketidakadilan dunia ini, di balik persoalan, di balik awan-gemawan, di balik lapisan teratas yang sangat halus di ruang angkasa, dibalik semua hal ada suatu kekuatan yang tak lain adalah keadilan, segenap kelembutan, semua keramahan, segenap cinta kasih.

Engkau laksana bunga yang tumbuh dalam bayangan. Segera angin yang lembut akan meniup dan membawa bebijianmu memasuki cahaya matahari tempat mereka yang akan menjalani suatu kehidupan indah.

Kebenaran akan mengoyak kerudung air mata yang menyembunyikan senyumanmu. Saudaraku, kuucapkan selamat datang padamu dan kuanggap hina para penindasmu.
 
User Image
@ pada 20 Mei 2002 - 14:36
Kang, ada yang menggelitik saya untuk menulis tentang grade dan layer,sepanjang pengetahuan saya sebagai anggota tim perunding KKB. Namun demikian saya menjadi bertanya-tanya, apakah yang salah di kita ini? apakah informasi yang kurang jelas, atau apa..sehingga grade dan layer ini tak kunjung usai.
Saya tidak hendak membela siapa-siapa, atau tidak menyalahkan siapa-siapa. Saya hanya ingin mengatakan sepanjang saya tahu. Tulisan ini kalau disambung-sambung mungkin akhirnya akan kembali ke masalah yang kita bicarakan yaitu tentang fungsional, namun bolehlah barangkali kita membumbuinya ke masalah lain atau masalah grade dan layer , atau barangkali saya yang tidak tahu benang merah antara grade- layer dan fungsional?.
Kang, ketika saya di tim perunding ada banyak pemikiran dari tim perunding ketika itu tentang sistem karir karyawan, yaitu diantaranya adalah tentang fungsional itu sendiri. Maka pemikiran tim perunding itu sendiri menginginkan bahwa "keahlian,profesionalisme" mendapat tempat disistem karir kita. Kita tidak boleh lagi hanya ngadu "pakolot-kolot". Ketika itu contoh yang paling dekat adalah contoh kasus di pabrikasi. Manajemen harus membedakan antara tukang las yang bisa me"ngelas" sambil jongkok dengan tukang las yang me"ngelas" sambil nungging atau gogoleran. Di satu sisi philosofi lain tentang layer adalah seorang supir yang bertahun-tahun hidup diatas roda, nantinya diinginkan ia juga menjadi sopir senior. Bagaimana membedakan itu? yaitu layer itu sendiri. Philosofinya ketika itu adalah tiap tingkatan layer merupakan jabatan yang disandang oleh tiap karyawan dengan kompensasi tiap layer berbeda. Jadi misalnya ketika seseorang berada di layer 5 bagi seorang sopir, maka ia adalah sopir kahot dan tentu akan berbeda dengan sopir yang baru nyupiran angkot. Begitu juga untuk layer-layer selanjutnya.
Namun kemudian, ketika implementasi dilaksanakan begitu banyak hal-hal yang harus diperbaiki. Kita mungkin belum punya tolok ukur sopir kahot dengan sopir angkot. Kita belum punya analisa itu ( mungkin) sehingga sopir angkot sama dengan sopir kahot.
Yang perlu saya jelaskan sepanjang pengetahuan saya adalah philosopi tentang grade itu sendiri. Di sistem karir kita begitu banyak nama yang disandang karyawan. Misalnya seorang pelaksana. Nama yang disandangnya cukup banyak. Misalnya si Badu seorang pelaksana. ia memiliki jabatan pelaksana madya , golongan dua, eselon V, strata 22. Akibat yang terjadi adalah betapa ruwetnya perusahaan menaikkan tunjangan ataupun kompensasi sebab ada hubungannya dengan jabatan seseorang, strata seseorang,golongan seseorang dan eselon seseorang. Akibatnya terasa: betapa untuk gaji pokok saja antara dua orang yang golongannya sama berbeda cukup jauh karena perbedaan jabatan , eselon, maupun strata yang disandangnya . Pemikiran ketika itu dari tim adalah menyederhanakan sistem karir tersebut hanya dengan satu nama saja, yaitu grade. Philosofinya ketika itu adalah Seseorang dalam grade yang sama, maka paling tidak gaji pokoknya sama, kecuali tunjangan jabatan tentu saja. Yang lebih sederhana lagi adalah andaikan terjadi naik gaji, maka perusahaan dengan mudah dapat menaikkan gaji berdasarkan grade yang disandang seseorang tanpa harus ruwet dan membagi-baginya sekian persen bagi golongan, sekian prosen bagi strata dan sekian prosen bagi eselon. Seperti saya katakan, saya tidak hendak membela siapa-siapa, saya hanya ingin menjelaskan sepanjang saya tahu dan saya alami.
Wahyu g
 
User Image
@ pada 16 Mei 2002 - 11:37
Buat Pa Wahyu yang lagi binggung,
Begini Pa Wahyu, dari asal kata saja kita bisa menebak bahwa fungsional itu merupakan jabatan yang menjalankan fungsinya sesuai dengan tugas dan tanggung jawab yang diberikan oleh pimpinannya. Semua karyawan sebenarnya menjalankan tugas sesuai dengan fungsi yang ditetapkan. Cuma di perusahaan ini yang menjalankan fungsi manajemen disebut struktural sedangkan yang menjalankan fungsi teknis disebut fungsional khusus karena tugas dan tanggungnya khusus menjalankan masalah teknis tertentu sesuai dengan bidang keahliannya. Memang saat ini di Inti jabatan struktural seolah merupakan jabatan superior atawa prestisius ini disebabkan oleh penempatan orang bukan berdasarkan atas The right man, the right place, and the right dimension. Padahal seorang pejabat struktural harus mampu memimpin orang dan mengelola atawa memanage proses sesuai dengan bidang garapannya. Belum lagi di INTi seorang yang menduduki jabatan fungsional bukanlah orang yang benar-benar sesuai dengan fungsi khusus yang akan dilaksanakannya. Bahkan sering seorang dijadikan pejabat fungional akibat kesalahan atau melakukan suatu kasus penyalahgunaan wewenang. Bedan dengan fungsional walaupun melakukan kesalahan atau kasus penyalahgunaan sesuai dengan kewenangannya jarang bahkan tidak pernah mendapat hukuman. Jadi hukuman khususnya di INTI hanya berlaku untuk pejabat struktural. Untuk itu kedepannya harus benar-benar jabatan itu merupakan jabatan yang menjalankan fungsi-fungsi yang ada diperusahaan. Jadi tidak ada jabatan untuk orang-orang buangan atau mantan pejabat struktural. Apalagi sekarang di INTI dipimpin oleh seorang Master dibidang SDM, makanya harapan sangat besar terhadap beliau dalam bidang penataan SDM INTI kalau memang ingin maju. Terlebih lagi GM SDMnya merupakan juga pakar SDM swepertinya kalau mau dilaksanakan konsep-konsep SDM seperti dalam setiap RADIN kayaknya tidak ada lagi orang merasa kehilangan jabatan atau harga diri sebagai pejabat. JUstru akan muncul orang merasa dihargai akan prestasi dan kemampuan yang dimiliki oleh orang tersebut baik teknis maupun manajemen. Kesimpulannya Bapak/Ibu kita kalau memang mau mempromosikan kita-kita ini harus benar-benar melihat fungsi yang akan dijalankan. Khan katanya bisnis ini kejam, maka orang-orang yang menjalankan fungsi-fungsi teknis dan manajemen harus sesuai dengan bakat dan keahliannya masing-masing alias jangan terlalu banyak KKN, atau mengutamakan kelompok, suku de el el. Kalau begitu maka INTI tidak akan pernah maju yang maju cuma visi dan misinya saja apalagi didukung oleh para pakar-pakar yang pintarnya cuma omong doang tapi tanpa mampu menunjukkan hasilnya.
Dengan demikian fungsional dan struktural di INTI semuanya menjalankan fungsi sesuai dengan bidang keahliannya. Kalau masih ada yang tidak sesuai dengan bidang dan keahliannya kata Pak Diut juga silahkan tunjukkan bukti-buktinya dan pasti kata beliau akan ditindaklanjuti. Jadi janggan asal ngomong doang akibat tidak dapat posisi sesuai dengan yang diharapkan. Untuk itu jabatan apapun kalau dilakukan dengan itikad baik pasti akan memberikan hasil. Karena rejeki yang kita dapatkan disesuai dengan amal perbuatan kita kan begitu Pa Wahyu. Akhir kata Pa wahyu dan saya sama jabatannya yaitu menjalankan fungsi pelaksana juga kan namanya pelaksana tugas, bedanya cuma Pa wahyu lebih pintar nulis daripada saya. Tapi saya lebih pintar ngomong daripada Pa Wahyu. Kalau begitu kapan Bapak Dirut ngajak saya makan barang seperti baru pertama kali masuk INTI khan kita pelaksana pada diajak makan, masak sudah gajinya naik tidak ngajak lagi mungkin Bapak lagi sibulk mikirin proyek untuk perusahaan.
 
User Image
@ pada 16 Mei 2002 - 15:43
Terima kasih, kang atas penjelasannya. Namun juga ada yang tidak habis pikir. Kenapa pula ada yang suka di"turunkan" dari Fungsional IV ke III atau dari Fungsional II ke III. Bukankah artinya makin naik jabatan fungsionalnya,artinya makin naik pula tingkat kesalahannya ( bila akang menganggap bahwa FK sebagai pembuangan). Bagi saya seorang Ass.Man atau manajer atau GM menjadi fungsional bukanlah turun,(kecuali duitnya) tapi lebih tepat mungkin digantikan. Sebab terus terang kendati saya tidak berbuat kesalahan, bila saya pelaksana menjadi FK saya akan bersyukur.
Saya juga akan mengklarifikasi kutipan akang yang menurut saya tidak "pas" yaitu : "Kalau masih ada yang tidak sesuai dengan bidang keahliannya ,kata Pak Dirut silahkan tunjukkan bukti-buktinya". Saya perlu meluruskan kalimat tersebut sebab sayalah yang mengutip dan mengkomunikasikannya (mungkin )kepada akang juga bahwa yang dimaksud Pak Dirut adalah bila ada pejabatnya yang masih berbuat " curang"selama dalam kepemimpinannya dan memiliki bukti silahkan tunjukkan bukti-buktinya , sebab pejabat yang diangkat oleh beliau menurut beliau adalah tanggung jawabnya. Perlu hal ini disampaikan agar pengertian yang saya kutip tersebut menjadi tepat sebab saya bertanggung jawab atas kutipan ucapan Pak Dirut tersebut.
Hal lain adalah apakah betul struktural itu suatu jabatan yang superior?. Saya hanya mendengar bisikan ada juga yang tidak mau diangkat menjadi pejabat struktural dan lebih enjoy di fungsional. saya teringat ucapan seorang netter di jaring tentang jabatan ini.yaitu: Bila naik jabatan karena uangnya,kata sang netter tersebut, maka carilah penghasilan tambahan( tanpa mengganggu aktivitas rutinnya)Bila naik jabatan karena namanya yang keren,misalnya ass.Man. Manager atau GM, maka bikinlah kartu nama. Saya jug ingin menambahkan, bila memiliki jabatan karena ingin memiliki anak buah, jangan-jangan ( mohon maaf) terkena parkinson, namun juga bila naik jabatan karena ingin memiliki power jangan-jangan seperti yang di katakn Lord Acton; Power is coruption.
Oleh sebab itu sebenarnya beruntunglah teman-teman yang memiliki jabatan baik struktural maupun fungsional, sebab pasti jauh lebih baik dari pelaksana kebanyakan. baik dari sisi penghasilan, nama yang disandang maupun penghargaan yang diterima perusahaan yang jelas-jelas lebih baik dari pelaksana umumnya.
Terakhir mengingat dikusi ini adalah tentang pengertian fungsional, tidak usahlah kita melenceng agak jauh dengan menyebut-nyebut naik gaji. Marilah kita bahas tentang fungsional saja, biar tambah fokus.

Wahyu G
 
User Image
@ pada 17 Mei 2002 - 07:32
Buat Kang Wahyu,
Terima kasih atas koreksinya, ini semata-mata berdasarkan pengamatan sehari-hari di lingkungan kerja ini terhadap suatu jabatan fungsional dan struktural. Karena keterbatasan elmuna mohon maaf ka sadayana. Mungkin kalau kita sudah pada naik ke jenjang struktural dan fungsional baru bisa menjelaskan secara detail, jadi tidak seperti sekarang tetap keneh di jenjang fungsional pelaksana.
Dari sobat Kang Wahyu
 
User Image
@ pada 17 Mei 2002 - 11:16
Buat Kang Wahyu, Kang Ade Z, sareung kang Atje H.
Marilah come to me come to you dengan renungan berikut, mudah-mudahan ada inspirasi yang dapat dipetik dari tausiah berikut ini

Apa pun yang kita kumpulkan, cepat atau lambat, pasti akan
pergi. Harta yang kita simpan; kehormatan yang kita perjuang-
kan; dan semua yang diaku sebagai milik sendiri selalu mencari
jalan keluar dari genggaman kita.

Ibaratnya, arus sungai yang rindu akan lautnya. Sekuat apapun
bendungan menghadang, air akan menemukan celah untuk meneruskan
tetesannya. Atau, angin akan mengangkat mereka ke awan-awan
tebal dan menjatuhkannya ke atas samudera. Apa pun yang terjadi,
semua itu akan pergi.

Jika toh mereka tak meninggalkan kita, suatu saat kitalah yang
akan meninggalkan mereka. Kita akan meninggalkan semua itu.
Karenanya, jangan terburu mengaku beruntung atas segunung harta
atau selangit kehormatan yang kita raih. Di saat semua itu
pergi, tak selalu pantas kita meratapinya sebagai kemalangan.
Maka, tak ada yang lebih baik selain selalu bersiap melepaskan.
Bagi bendungan, tekanan arus air adalah beban berat. Bagi kita,
tumpukan harta tak kalah beratnya. Maka, bila ia harus pergi,
relakan kepergiannya. Ini membuat hati jauh lebih lapang dan
ringan.


Kang Aim S
 
User Image
@ pada 17 Mei 2002 - 11:25
Amin. Ya Robbul alamin.


Wahyu G
 
User Image
@ pada 17 Mei 2002 - 13:21
Bagi orang yang gila harta dan lupa akhirat mach harta akan disayang-sayang dan akan selalu ditumpuk seperti modul dan kalau bisa diperpanjang seperti kabel.
 
User Image
@ pada 17 Mei 2002 - 13:45
Kang, diskusinya makin melenceng aja, kita kembali yo ke bahasan semula.

Wahyu G