Dahulu, wanita Indonesia hanya diberi label masyarakat kelas dua. Stigma ini terjadi selama berabad lamanya, dengan banyak bumbu pernyataan negatif, sehingga kemudian menjadi dalih bahwa perempuan tak membutuhkan pendidikan tinggi.

Jangankan wanita pribumi biasa, kala itu wanita priyayi pun tak berhak mengenyam pendidikan tinggi supaya tidak lebih pandai ketimbang para kaum lelaki. Namun, situasi mulai berbalik arah, saat para pendatang dari Belanda mulai menyadari bahwa kondisi sosial ekonomi Hindia Belanda (sebutan Indonesia kala itu) sangat menyedihkan.

Lalu, berkat sebuah artikel “Gerakan Politik Etis di Negara Koloni” yang ditulis jurnalis Pieter Brooshoof di surat kabar berbahasa Belanda bernama De Locomotief, desakan pada Pemerintah Kolonial agar memberikan pendidikan layak sebagai balas budi pada negara jajahan, makin intens.


Tuntutan itu memang kemudian direalisasikan, tapi masih sebatas pendidikan bagi para elite pribumi, termasuk di antaranya yaitu seorang wanita ningrat Jawa bernama Raden Ajeng Kartini Djojo Adhiningrat.

Putri Bupati Rembang yang akrab dengan para bangsawan Belanda ini kemudian menyuarakan pemikiran kritisnya, soal ketimpangan kondisi sosial wanita pribumi, termasuk sulitnya untuk berpendidikan tinggi.
Berkat pemikiran kritisnya itu, berabad kemudian, para wanita dari berbagai kalangan akhirnya bisa mendapatkan kesetaraan berpendidikan dan pergaulan lintas rasial. Tak ada lagi masyarakat kelas dua. Dan, para kaum hawa kini bisa menunjukkan kecerdasannya, karyanya, pengabdiannya, tanpa harus dibelenggu kasta.


Tepat 142 tahun sejak kelahiran Kartini, para wanita dari berbagai kalangan mendapatkan ujian terberatnya. Bukan dari pemerintah kolonial yang dulu menjajah nusantara, tapi musuh tak kasat mata bernama Corona.

Di tengah wabah yang belum pernah terjadi sebelumnya, para Kartini masa kini menjadi garda terdepan di bidangnya. Mulai dari tenaga medis, cleaning service, penjaga toko, karyawan, satpam, jurnalis, pedagang pasar, teknisi, polisi, dan profesi apapun yang kini bisa dilakukan oleh wanita, menghadapi musuh yang tidak memihak salah satu pihak.

Dedikasi para wanita hebat yang merelakan diri menjadi garda terdepan di tengah pandemi ini merupakan salah satu bukti sebuah perjuangan nyata Kartini masa kini yang menginspirasi. Bukan dengan peluru, tombak, atau belati, tapi dengan pengabdian dan ketulusan hati. Selamat Hari Kartini untuk semua wanita di manapun kamu berada, terima kasih sudah menjadi garda terdepan di bidangmu.


"SELAMAT HARI KARTINI, HABIS GELAP TERBITLAH TERANG"   |   Dibaca 107 kali   |   0 Komentar    |   Login untuk berkomentar   

Komentar