Dikirim pada 2020-08-14 15:04:00 Oleh Admin
Kata orang, hidup itu modal utamanya integritas. Katanya, percuma kalau kita cerdas, rajin, dan lain-lain, tapi integritasnya NOL BESAR. Pikir-pikir, memang betul adanya. Tidak perlu kita berkoar-koar mengumumkan pada seluruh dunia bahwa kita memiliki integritas paling tinggi, tapi dalam pelaksanaannya, saat tidak ada orang lain, jiwa kita melemah saat diiming-imingi hal menarik. Lalu, integritas itu seharusnya bagaimana?
Banyak literatur menuliskan bahwa integritas adalah kesamaan antara ucapan, pikiran, dan tindakan, bahkan, saat tidak ada orang lain yang melihat. Awalnya susah untuk mencerna definisi hal ini dalam kehidupan nyata, tapi suatu ketika ada sebuah artikel yang mengulas soal ini di internet. Kali ini, Sang aktor utamanya adalah Mohammad Hatta, Wakil Presiden Indonesia yang pertama. Bung Hatta, demikian dia akrab disapa, suatu ketika musti mengumumkan sebuah kebijakan pemotongan nilai mata uang (sanering) yang berakibat pada turunnya nilai mata uang kala itu. Usai pengumuman, sang istri merajuk, protes habis-habisan karena merasa terabaikan oleh keputusan penting yang berakibat pada berkurangnya tabungan untuk membeli mesin jahit. Tentu saja sang istri panik seperti kebakaran jenggot, karena uang yang sudah dikumpulkan sedikit demi sedikit secara apik, langsung hilang nilainya hingga separuhnya. Sang istri pun menganggap suaminya itu tidak mempercayainya.
Di masa itu, meski telah menjadi orang nomor dua di negeri ini, Hatta tidaklah bergelimang harta. Makanya sang istri berupaya membantu Hatta tetap bekerja jujur lewat keahliannya. Namun, apa mau dikata, niat membeli modal usaha pun musti gagal karena kebijakan sanering. Hatta pun kemudian berujar, hal itu merupakan sebuah integritas. Bukan masalah percaya atau tidak percaya. “Tapi rahasia adalah tetap rahasia, tidak boleh bocor pada siapapun. Biarlah rugi sedikit, demi kepentingan negara,” ucap Hatta.
Kisah Hatta ini mengajarkan kita soal berhati-hati dalam mendengarkan napsu hati, bahkan jika itu untuk hal yang sangat sepele dan sederhana. Sebab, terkadang, integritas bisa hancur oleh hal sederhana. Hatta bisa saja melupakan integritasnya. Bisa saja mengamankan kehidupan pribadinya dengan tidak mengumumkannya terlebih dulu sebelum sang istri membelanjakan keperluannya. Apalagi, dia memang memiliki wewenang tertinggi setelah Presiden Soekarno. Namun, pria ini tetap meneguhkan integritasnya untuk tidak (ter)korupsi(kan).
Keteladanan seperti ini, adalah sikap asketisme alias penyangkalan terhadap segala hal berbau kemewahan ini, dan ini membuat Hatta pantas dijadikan sebagai teladan. Mungkin satu-satunya teladan seorang pemimpin yang tetap rendah hati dan tampil dalam kesederhanaan meski masuk belantara politik yang penuh kompromi negatif. Dan, orang seperti ini tidak membutuhkan seorang algojo, pakta integritas, atau sebuah undang-undang antikorupsi untuk membuatnya takut mengatakan ‘tidak’ saat tawaran menggiurkan menghampirinya. Orang seperti ini sanggup mengatakan TIDAK meski tidak ada seorang pun yang melihatnya bertindak penuh integritas.
Sebaliknya, orang yang hipokrit alias sang munafik, akan membiarkan orang lain ikut hancur akibat ketidakjujurannya. Sikap seperti ini lama kelamaan akan membuat lingkungan organisasinya busuk perlahan. Jadi, ada di sisi mana kita? Itu adalah pilihan (bukan) takdir. ***
Banyak literatur menuliskan bahwa integritas adalah kesamaan antara ucapan, pikiran, dan tindakan, bahkan, saat tidak ada orang lain yang melihat. Awalnya susah untuk mencerna definisi hal ini dalam kehidupan nyata, tapi suatu ketika ada sebuah artikel yang mengulas soal ini di internet. Kali ini, Sang aktor utamanya adalah Mohammad Hatta, Wakil Presiden Indonesia yang pertama. Bung Hatta, demikian dia akrab disapa, suatu ketika musti mengumumkan sebuah kebijakan pemotongan nilai mata uang (sanering) yang berakibat pada turunnya nilai mata uang kala itu. Usai pengumuman, sang istri merajuk, protes habis-habisan karena merasa terabaikan oleh keputusan penting yang berakibat pada berkurangnya tabungan untuk membeli mesin jahit. Tentu saja sang istri panik seperti kebakaran jenggot, karena uang yang sudah dikumpulkan sedikit demi sedikit secara apik, langsung hilang nilainya hingga separuhnya. Sang istri pun menganggap suaminya itu tidak mempercayainya.
Di masa itu, meski telah menjadi orang nomor dua di negeri ini, Hatta tidaklah bergelimang harta. Makanya sang istri berupaya membantu Hatta tetap bekerja jujur lewat keahliannya. Namun, apa mau dikata, niat membeli modal usaha pun musti gagal karena kebijakan sanering. Hatta pun kemudian berujar, hal itu merupakan sebuah integritas. Bukan masalah percaya atau tidak percaya. “Tapi rahasia adalah tetap rahasia, tidak boleh bocor pada siapapun. Biarlah rugi sedikit, demi kepentingan negara,” ucap Hatta.
Kisah Hatta ini mengajarkan kita soal berhati-hati dalam mendengarkan napsu hati, bahkan jika itu untuk hal yang sangat sepele dan sederhana. Sebab, terkadang, integritas bisa hancur oleh hal sederhana. Hatta bisa saja melupakan integritasnya. Bisa saja mengamankan kehidupan pribadinya dengan tidak mengumumkannya terlebih dulu sebelum sang istri membelanjakan keperluannya. Apalagi, dia memang memiliki wewenang tertinggi setelah Presiden Soekarno. Namun, pria ini tetap meneguhkan integritasnya untuk tidak (ter)korupsi(kan).
Keteladanan seperti ini, adalah sikap asketisme alias penyangkalan terhadap segala hal berbau kemewahan ini, dan ini membuat Hatta pantas dijadikan sebagai teladan. Mungkin satu-satunya teladan seorang pemimpin yang tetap rendah hati dan tampil dalam kesederhanaan meski masuk belantara politik yang penuh kompromi negatif. Dan, orang seperti ini tidak membutuhkan seorang algojo, pakta integritas, atau sebuah undang-undang antikorupsi untuk membuatnya takut mengatakan ‘tidak’ saat tawaran menggiurkan menghampirinya. Orang seperti ini sanggup mengatakan TIDAK meski tidak ada seorang pun yang melihatnya bertindak penuh integritas.
Sebaliknya, orang yang hipokrit alias sang munafik, akan membiarkan orang lain ikut hancur akibat ketidakjujurannya. Sikap seperti ini lama kelamaan akan membuat lingkungan organisasinya busuk perlahan. Jadi, ada di sisi mana kita? Itu adalah pilihan (bukan) takdir. ***