Dikirim pada 2020-04-15 13:41:00 Oleh Admin
Di tengah merebaknya penyebaran virus corona (Covid-19) di seluruh dunia, tidak terkecuali Indonesia, banyak sekolah dan universitas yang mewajibkan para siswa atau mahasiswanya untuk belajar di rumah. Begitu pula untuk para pekerja yang mulai mencanangkan sistem bekerja dari rumah atau work from home (WFH). Aturan ini diterapkan menyusul anjuran social distancing dari pemerintah sebagai upaya pencegahan penularan virus Covid-19 yang semakin meluas. Dengan demikian, penggunaan aplikasi konferensi video makin banyak digunakan masyarakat untuk melakukan komunikasi tatap muka dari rumah.
Salah satu platform yang hadir untuk membantu program WFH melalui layanan konferensi jarak jauh di rumah masing-masing adalah Zoom. Aplikasi Zoom sendiri diluncurkan oleh Eric Yuan pada tahun 2011. Aplikasi Zoom memiliki fitur yang bisa memaksimalkan para karyawan untuk beraktivitas WFH.
Melalui Zoom, semua tim bisa melakukan komunikasi video secara bersamaan dengan kualitas video dan audio yang baik. Aplikasi ini bisa digunakan di smartphone, tablet, dan desktop komputer atau laptop.
Tidak hanya fitur konferensi video, Zoom juga memiliki fitur lainnya, seperti kirim pesan teks, foto, audio, dan video. Bahkan, aplikasi ini baru saja merilis fitur baru yang dapat mengubah background saat pengguna melakukan konferensi video. Dengan perusahaan yang banyak menerapkan WFH, tidak mengherankan jika aplikasi konferensi video jarak jauh ini mengalami kenaikan pertumbuhan yang sangat cepat. Dalam kasus Zoom, platform ini mendapatkan popularitasnya karena kemudahan penggunaannya serta fitur yang selaras dengan kebijakan informasi dan teknologi (IT) untuk sebagian perusahaan.
Namun, General Manager Kaspersky yaitu perusahaan yang bergerak di ranah keamanan internet untuk Asia Tenggara Yeo Siang Tiong, mengungkapkan bahwa masih banyak hal yang sering kali luput dari perhatian masyarakat. Salah satunya adalah faktor keamanan. Dia mengatakan bahwa tanpa disadari, manusia tengah menghadapi fase hidup yang makin terpengaruh oleh daring.
Apalagi, saat melakukan konferensi, biasanya video direkam sebagai referensi di masa mendatang. Tentunya ada kemungkinan data rahasia yang dibahas dalam pertemuan tersebut, sehingga penting bagi perusahaan untuk melihat bagaimana data mereka disimpan. Artinya, rekaman ini harus disimpan dan dibagikan dengan aman.
Pada kondisi ideal, perusahaan harus mengunci file-file tersebut dan mengatur izin khusus pada siapa yang dapat mengaksesnya. Praktik sederhana ini dapat menyelamatkan mereka dari kemungkinan intrusi atau serangan terhadap data atau sistem perusahaan.
Fakta ini menarik minat para penggiat dan praktisi di bidang teknologi informasi. Salah satunya, Head of Corporate Communication Google Indonesia Jason Tedjasukmana yang berpendapat bahwa untuk melindungi informasi pengguna, sebaiknya langkah pertama adalah memiliki browser yang aman yang mendukung enkripsi terbaru dan pembaruan keamanan. Saat ini secara umum tingkat keamanan data konferensi video dapat dikatakan cukup baik, meskipun tidak bisa disebut telah sangat aman. Pasalnya, aplikasi konferensi video yang populer saat ini seperti Zoom tidak bisa 100 persen menerapkan end to end encryption.
Istilah end-to-end encryption umumnya mengacu pada perlindungan konten sepenuhnya di antara pengguna, tanpa akses perusahaan sama sekali, seperti yang dilakukan WhatsApp. Dengan kata lain, konten hanya diketahui oleh pengirim dan penerima, tanpa intersep siapa pun. Zoom menyangkal menggunakan frasa keamanan enkripsi ujung-ke-ujung menyesatkan dan mengatakan layanannya tetap aman. Zoom pun mengklaim tak punya kemampuan untuk mengakses konten pengguna selama konferensi video. Zoom melalui juru bicaranya malah mengatakan, saat ini tak mungkin mendukung keamanan enkripsi ujung-ke-ujung. Meski begitu, Zoom menggunakan enkripsi transport layer security (TLS) yang sama dipakai untuk keamanan HTTPS.
Sepertinya menjadi sebuah kewajaran untuk aplikasi yang free, apabila para developer mengambil data sebagai konsekuensi pemakaian tak berbayar. Biasanya, para developer akan mengumpulkan data umum untuk pemetaan demografi seperti jenis ponsel yang dipakai, lokasi base on internet protocol (IP) address, maupun waktu pemakaian. Data spesifik seperti isi percakapan dan file yang ditransfer seharusnya tidak dibaca.
Namun, kita sebagai pengguna produk tersebut tidak pernah tahu implementasi sebenarnya. Sebab, Zoom pemegang sistem masih bisa melihat dan melakukan modifikasi berbagai konten audio visual dan data yang ada di cloud storage mereka. Bahkan, kita tidak bisa menafikkan kemungkinan perusahaan penyedia produk konferensi video bisa dengan mudah menambang data pengguna atau menjualnya kepada siapa pun.
Kini, tinggal bagaimana kita memilah. Apakah kita akan bergabung dengan kelompok mayoritas orang yang lebih mempertimbangkan faktor keandalan, kelancaran, dan biaya yang ekonomis dalam konferensi video saat WFH sebagai prioritas utama, ketimbang faktor keamanan? Apapun itu, harapannya, Zoom beserta para provider konferensi video akan bisa berkembang dan menerapkan full end to end encryption di masa depan.
(*link untuk mendownload aplikasi Zoom :
https://zoom.us/download
Membaca tulisan diatas saya teringat di Warta Inti pernah ada tulisan :Seandainya:, saya jadi merenung apakah kita yang kurang peka terhadap kemampuan kita atau kita kurang mengenal produk yang kita punya. Seandainya kita gencar memasarkan produk IPPBX untuk WFH (karena produk ini sudah pernah di demokan di salahsatu kampus di bandung untuk belajar jarak jauh, apalagi Rapat beda kota sudah pernah dilakukan oleh beberapa perusahaan) mungkin produk kita jadi unggulan. Seandainya sebelum ramai sterilsasi masuk ruangan kita membuat chamber (insya Alloh kita mampu membuat nya) mungkin tempat produksi kita akan ramai order, Seandainya Smart Healthy kita dikenal orang mungkin pada saat PSBB orang tidak akan bingung untuk konsultasi kesehatan sendiri. Mohon di koreksi kalau ada salah, ini sekedar curhat dari saya (dna)