Dikirim pada 2002-04-05 10:12:15 Oleh Admin
Suatu ketika anda sedang asyik menyelesaikan proyek yang sudah berhari-hari menyita perhatian, datanglah seorang rekan. Setelah mengamati sejenak ia menepuk pundak anda sambil berujar, "Hem, menurutku sistem yang kamu susun ini kurang sesuai dengan kebutuhan kita. Rupanya kamu luput mempertimbangkan faktor abc. Semestinya kamu tidak usah memasukkan variabel xyz ke dalam sistemmu..bla..bla..bla.." Bagi seseorang yang mempunyai sikap mental positif - seperti anda - maka kritikan semacam itu pasti akan dianggap sebagai hal positif pula. Boleh jadi apa yang disampaikan itu ada benarnya
sekaligus sebagai perhatian yang patut dihargai. Karenanya anda akan memperbaiki kekurangan yang mungkin ada.Namun, jujur saja, siapa pun anda, begitu mendengar kritik maka detik pertama anda akan merasakan sesuatu yang tak nyaman dalam diri. Ya, dikritik itu memang menyakitkan. Tak peduli apakah itu kritik membangun apalagi bila yang disampaikan hanyalah kecaman pedas. Jadi, sebenarnya tak ada orang yang
sungguh-sungguh jujur mengatakan bahwa "saya senang dikritik". Oleh karena itu mengapa banyak orang senang mengkritik.
Kembali pada cerita anda di atas. Boleh jadi anda akan mengernyitkan dahi sambil berkata dalam hati, "Proyek ini telah kukerjakan berhari-hari siang malam. Semua faktor telah kupertimbangkan masak-masak. Bukan hanya itu, aku pun tak henti-hentinya berkonsultasi dengan para pakar. Bagaimana ia bisa
mengomentari hanya dengan mengamatinya sebentar saja?" Ya, demikianlah sifat para pengkritik. Mereka sebenarnya memiliki pengetahuan yang pas-pasan saja. Mereka ingin dianggap tahu segalanya. Oleh karenanya mereka mengkritik padahal sesungguhnya mereka jadi seperti sok tahu. Selain itu, seringkali pula pengkritik mengidap penyakit "buruk hati" yang senang bila dapat
merendahkan orang lain, mengolok-olok kemampuan orang lain dan menunjukkan
pada masyarakat umum bahwa mereka lebih tahu. Ini terbukti, bila proyek tersebut gagal, mereka akan berceloteh, "Tuh, apa aku bilang. Seandainya kamu dulu mengikuti saranku maka bla..bla..bla."
Sadarkah "para pengkritik" bahwa kebiasaan itu dapat menjadi penghambat laju karier mereka. Tak banyak orang yang menyukai para pengkritik karena mereka itu menyebalkan, tak bisa diajak bekerja sama, sulit menerima pendapat, selalu bersikap negatif dan yang lebih parah adakalanya mereka itu bodoh.
Jangan salahkan bila banyak orang yang menjauhi mereka bahkan menghalang-halangi langkah mereka. Jadi sekali lagi, kita tentu takkan terjebak untuk berada dalam barisan pengkritik.
Namun, bagaimana pun kita tetap memerlukan kritik. Yaitu kritik yang disusun berdasarkan pemahaman yang mendalam atas suatu hal sehingga dapat dibedakan mana persoalan mana jawaban. Dengan demikian kritik berarti pula sebagai pemecahan masalah atau solusi. Kritik semacam ini selalu bersifat persuasif,
artinya tidak gampang begitu saja menunjuk ini salah itu salah namun selalu mengutamakan ketulusan dan kebijakan dalam menyampaikan - karena tahu bahwa dikritik itu menyakitkan. Kritik yang diperlukan adalah kritik yang membantu secara penuh bukannya setengah-setengah sehingga kita tidak melepaskan
tanggung jawab bila ternyata kritikan itu ternyata kurang tepat. Inilah yang disebut dengan kritik membangun.
Kita dapat berada dalam barisan ini dengan mengembangkan beberapa etika mengkritik sebagaimana disampaikan di atas, yaitu bijak, (memberikan saran bila diminta dan disetujui oleh penerima kritik), tulus dalam membantu
(tidak ada satu niat untuk melecehkan dan menyombongkan diri), tuntas (menunjukkan pemahaman yang jelas, tidak setengah-setengah dan tidak menyembunyikan sesuatu hal) dan keterlibatan (tunjukkan minat dan kesediaan kita untuk terlibat dalam kritik. Ini berarti pula kita bersedian untuk menerima umpan balik atau kritik dari rekan kita.) Dengan demikian kehadiran kita bukan sebagai pengricuh suasana kerja namun malah ditunggu-tunggu sebagai dewa penyelamat di tengah kebuntuan masalah. (Self Esteem - Rekan Kantor)
sekaligus sebagai perhatian yang patut dihargai. Karenanya anda akan memperbaiki kekurangan yang mungkin ada.Namun, jujur saja, siapa pun anda, begitu mendengar kritik maka detik pertama anda akan merasakan sesuatu yang tak nyaman dalam diri. Ya, dikritik itu memang menyakitkan. Tak peduli apakah itu kritik membangun apalagi bila yang disampaikan hanyalah kecaman pedas. Jadi, sebenarnya tak ada orang yang
sungguh-sungguh jujur mengatakan bahwa "saya senang dikritik". Oleh karena itu mengapa banyak orang senang mengkritik.
Kembali pada cerita anda di atas. Boleh jadi anda akan mengernyitkan dahi sambil berkata dalam hati, "Proyek ini telah kukerjakan berhari-hari siang malam. Semua faktor telah kupertimbangkan masak-masak. Bukan hanya itu, aku pun tak henti-hentinya berkonsultasi dengan para pakar. Bagaimana ia bisa
mengomentari hanya dengan mengamatinya sebentar saja?" Ya, demikianlah sifat para pengkritik. Mereka sebenarnya memiliki pengetahuan yang pas-pasan saja. Mereka ingin dianggap tahu segalanya. Oleh karenanya mereka mengkritik padahal sesungguhnya mereka jadi seperti sok tahu. Selain itu, seringkali pula pengkritik mengidap penyakit "buruk hati" yang senang bila dapat
merendahkan orang lain, mengolok-olok kemampuan orang lain dan menunjukkan
pada masyarakat umum bahwa mereka lebih tahu. Ini terbukti, bila proyek tersebut gagal, mereka akan berceloteh, "Tuh, apa aku bilang. Seandainya kamu dulu mengikuti saranku maka bla..bla..bla."
Sadarkah "para pengkritik" bahwa kebiasaan itu dapat menjadi penghambat laju karier mereka. Tak banyak orang yang menyukai para pengkritik karena mereka itu menyebalkan, tak bisa diajak bekerja sama, sulit menerima pendapat, selalu bersikap negatif dan yang lebih parah adakalanya mereka itu bodoh.
Jangan salahkan bila banyak orang yang menjauhi mereka bahkan menghalang-halangi langkah mereka. Jadi sekali lagi, kita tentu takkan terjebak untuk berada dalam barisan pengkritik.
Namun, bagaimana pun kita tetap memerlukan kritik. Yaitu kritik yang disusun berdasarkan pemahaman yang mendalam atas suatu hal sehingga dapat dibedakan mana persoalan mana jawaban. Dengan demikian kritik berarti pula sebagai pemecahan masalah atau solusi. Kritik semacam ini selalu bersifat persuasif,
artinya tidak gampang begitu saja menunjuk ini salah itu salah namun selalu mengutamakan ketulusan dan kebijakan dalam menyampaikan - karena tahu bahwa dikritik itu menyakitkan. Kritik yang diperlukan adalah kritik yang membantu secara penuh bukannya setengah-setengah sehingga kita tidak melepaskan
tanggung jawab bila ternyata kritikan itu ternyata kurang tepat. Inilah yang disebut dengan kritik membangun.
Kita dapat berada dalam barisan ini dengan mengembangkan beberapa etika mengkritik sebagaimana disampaikan di atas, yaitu bijak, (memberikan saran bila diminta dan disetujui oleh penerima kritik), tulus dalam membantu
(tidak ada satu niat untuk melecehkan dan menyombongkan diri), tuntas (menunjukkan pemahaman yang jelas, tidak setengah-setengah dan tidak menyembunyikan sesuatu hal) dan keterlibatan (tunjukkan minat dan kesediaan kita untuk terlibat dalam kritik. Ini berarti pula kita bersedian untuk menerima umpan balik atau kritik dari rekan kita.) Dengan demikian kehadiran kita bukan sebagai pengricuh suasana kerja namun malah ditunggu-tunggu sebagai dewa penyelamat di tengah kebuntuan masalah. (Self Esteem - Rekan Kantor)
pada dasarnya manusia senang dipuji, bukan dikritik, tapi lebih suka lagi kalau diberi kripik singkong, kripik pisang, dan masih banyak lagi kripik-kripik yang lebih enak