Dikirim pada 2015-04-21 14:58:49 Oleh purel
Puluhan dekade silam merupakan era kejayaan budaya patriarkhi. Era ketika pria adalah titik sentral dan pemegang otoritas utama pada semua organisasi sosial. Berabad silam pun menjadi periode menjamurnya paham misogini, sebuah pemikiran yang merendahkan derajat wanita. Inilah masa ketika seorang wanita merasa terjajah di lingkungannya sendiri.
Pada sebuah karya bertajuk Serat Centhini, salah satu karya sastra terbesar dalam kesusastraan Jawa Baru yang ditulis pada 1809, wanita tergambar dalam sebuah konsep konvensional. Dengan tutur bahasa pujangga, sosok wanita diidealkan ibarat lima jari tangan.
Ibarat jempol, wanita harus optimal mengabdi pada suami.
Ibarat telunjuk, wanita harus menuruti segala perintah suami.
Ibarat panunggul (jari tengah), istri harus mengunggulkan suami bagaimanapun keadaannya.
Ibarat jari manis, istri harus selalu bersikap manis.
Ibarat jejenthik, istri harus selalu hati-hati, teliti, rajin, dan terampil melayani suami.
Untuk lanjutan kisah dapat klik Baca Lebih Lanjut di bawah ini
Banyak yang menganggap konsep ini menyedihkan karena konsep ini kemudian disalahartikan sebagai bentuk penguasaan pria untuk terus menunjuk wanita. Namun, banyak pula yang menganggap itulah fitrah wanita. Tidak mengherankan apabila akhirnya konsep inilah kemudian yang mendarah daging dan melenceng dari pakem yang seharusnya di Indonesia, tepat sebelum mencuatnya periode kesetaraan gender. Wanita dalam Serat Centhini didoktrin tidak memiliki hak untuk menyuarakan keinginannya. Adalah termasuk Kartini, sang putri priyayi Jepara yang juga akhirnya tumbuh besar di bawah konsep Serat Centhini. Status bangsawan pun ternyata tidak bisa memberinya pengecualian soal kebebasan. Kebebasan untuk memilih, bersuara, berkata tidak, atau berkata iya. Seorang bangsawan cilik yang kemudian menyadari bahwa wanita dalam konsep Serat Centhini mengalami pergeseran, bukan fitrah wanita. Bahwa wanita tidak berhak hidup dalam budaya patriarkhi dan misogini.
Berbekal semua keingintahuannya, Kartini muda pun tanpa sadar menyebarkan benih untuk menggulingkan patriarkhi dan misogini. Lewat berbagai korespondensinya dengan sahabat pena di belahan dunia barat, Kartini menyuarakan konsepnya tentang wanita. Bahwa wanita bukanlah sandal saat siang hari. Bahwa wanita bukanlah sekedar selimut pada malam hari. Bahwa wanita pun berhak untuk mendapatkan pengetahuan tentang banyak hal. Bahwa akhirnya berabad-abad kemudian, kita bisa berdiri hebat memimpin sebuah perusahaan, memimpin ratusan pegawai, menuntut ilmu sebanyak yang kita mau, menyuarakan ide-ide brilian, dan mengatakan ‘tidak’ saat muncul sebuah perintah yang tidak sesuai dengan hati nurani. Kini, bisa dibilang, hampir tidak ada lagi wanita dalam Serat Centhini.
Lihatlah pimpinan, lihatlah istri, lihatlah rekan kerja, lihatlah sahabat, lihatlah saudara, lihatlah siapapun yang kini bisa dengan bangga menyebut dirinya sebagai wanita. Inilah emansipasi yang dulu diperjuangkan Kartini. Hanya saja, emansipasi tidak menetapkan definisi bahwa pria dan wanita harus mendapat posisi hak yang sama rata pada semua hal. Emansipasi yang seharusnya kita, para wanita, dapatkan hanya menyangkut persamaan hak yang layak diberikan tanpa melihat gender secara adil dan proporsional. Bukan sama persis.
Emansipasi bukanlah tameng bagi wanita untuk bisa melepaskan kodratnya, fitrahnya. Wanita tetap harus taat pada suaminya. Wanita tetap harus mengabdi pada suaminya. Wanita harus bertindak seperti konsep Serat Centhini, tapi dengan berbagai keistimewaan dan hal positif. Wanita yang bisa mengejar cita-citanya, sekaligus menjalankan fitrahnya. Bisa? Karyawati perusahaan ini contohnya. Semua wanita-wanita hebat di perusahaan ini bisa dengan hebat mengejar karirnya, bekerja sesuai cita-citanya, serta tetap menjalankan fitrahnya sebagai istri dan ibu. Ada yang sukses mengatur keuangan perusahaan, perencanaan proyek, mengeksekusi kebijakan perusahaan, bernegosiasi dengan klien besar, menjadi marketing hebat, menjadi representasi perusahaan, dan berbagai aktivitas strategis lainnya. Perusahaan ini memiliki banyak sekali Kartini.
Dan, setiap tahun bertambah, kita diingatkan betapa majunya negara ini sekarang. Penuh dengan wanita-wanita yang memiliki pemikiran yang kian terbuka. Setiap tahun peringatan Hari Kartini bukanlah sekedar perayaan wanita-wanita berkebaya ayu. Namun, peningkatan kualitas pola pikir.
Buatlah karya hebat dengan kemampuan kita untuk perusahaan ini. Buatlah karya hebat dengan kreativitas kita untuk keluarga sendiri. Tetaplah menjadi wanita dalam Serat Centhini dengan versi yang mengagumkan. (PUREL)