Dikirim pada 2013-02-15 11:02:22 Oleh purel
Hari itu, cuaca cukup bersahabat. Tidak panas dengan awan bergelayut meski langit tidak biru bersih. Kemacetan yang biasa melanda pun tidak tampak pagi itu di Jakarta. Mungkin, Jakarta tahu, ada 150 siswa dan guru teladan dari 10 kabupaten terpencil, perbatasan, dan pulau terluar yang tengah bertandang ke ibukota.
Tawa riang dan cerita-cerita ringan anak-anak lugu tentang kekagumannya pada gedung-gedung tinggi, terdengar riuh di tengah kesibukan acara Jumat, 7 Februari 2013. Di sudut lain, rupanya para pelajar pintar itu juga tengah berbagi cerita dengan sang guru sambil memandang takjub Tugu Monumen Nasional alias Monas yang terlihat gagah dari Lantai 21 Kementerian BUMN.
Tak berapa lama, datanglah para petinggi perusahaan pelat merah. Ada perwakilan dari PT Industri Telekomunikasi Indonesia (INTI), PT Angkasa Pura II, PT Aneka Tambang (Persero) Tbk, dan PT Bank BRI (Persero) Tbk. Adapula wakil dari PT Bank BNI (Persero) Tbk, Bank Mandiri (Persero) Tbk, PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk, PT Jamsostek, PT Jasa Marga (Persero) Tbk, PT Krakatau Steel (Persero) Tbk, dan PT Kimia Farma (Persero) Tbk.
Selain itu, ada juga perwakilan PT Pelabuhan Indonesia III (Persero), PT Asabri (Persero), PT Pertamina (Persero), PT Perkebunan Nusantara 3 (Persero), PT Perkebunan Nusantara 6 (Persero), PT Perkebunan Nusantara XI (Persero), PT Pupuk Kujang (Persero), PT Pupuk Kaltim (Persero), PT Surabaya Industrial Estate Rungkut (Persero), PT Petrokimia Gresik (Persero), PT Telekomunikasi Indonesia (Persero) Tbk, dan PT Timah (Persero) Tbk.
Untuk lanjutan berita dapat di klik Baca Lebih Lanjut dibawah ini
Para petinggi 23 badan usaha milik negara itu ternyata bersinergi dengan PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk alias PGN untuk menunjukkan kepeduliannya pada dunia pendidikan. Isu utama yang diangkat memang soal melek internet. Sebab, hal inilah yang masih dianggap sebagai pemicu kesenjangan pendidikan dengan para pelajar perkotaan.
Sejumlah pelajar dan guru yang menyuarakan aspirasi jutaan orang lainnya pun menggarisbawahi hal tersebut. Pelajar Manokwari, Sukamara, Belitung, Timur Tengah Utara, Natuna, Sorong, Sanggau, Bengkayang, Muna, dan Tarakan berkeinginan keras adanya sentuhan teknologi modern menghampiri wilayah mereka. "Kami butuh jaringan internet agar murid kami pintar dan bisa bertanya pada Google," ucap Sanusi, guru ilmu pengetahuan alam (IPA) yang mengajar di Kabupaten Sanggau, Provinsi Kalimantan Barat.
Masalah memang tidak melulu soal akses internet. Banyak pula yang mengeluhkan soal sulitnya akses transportasi, keterbatasan buku pelajaran, alat bantu ajar seperti perangkat laboratorium, dan minimnya guru bidang studi. Leonard, pria asal Sorong yang telah mengajar selama 23 tahun juga sempat menuturkan kendala pendidikan tersebut. Makanya tidak heran, ucap dia, seorang guru umum harus menguasai pelajaran khusus dengan pasokan buku terbatas pada para siswanya.
Menyedihkan? Coba berada pada posisi mereka maka Anda akan tahu bagaimana rasanya. Ironisnya lagi, ternyata keterbatasan telah membuat anak-anak pedalaman itu minder dengan keadaannya. Buta teknologi telah membuat mereka merasa rendah diri dibanding anak-anak kota. "Saya minder dengan pelajar kota karena ada perbedaan besar soal pendidikan ini," ungkap Listia, pelajar asal Kabupaten Natuna, Provinsi Kepulauan Riau.
Kenyataan ini layaknya hal matematis yang pasti terjadi. Pemerintah pusat bukan tidak mau turun tangan. Ada sebenarnya upaya untuk meningkatkan kemelekan teknologi, seperti menyuplai komputer personal atau komputer jinjing untuk dipakai di pedalaman.
Sayangnya, pasokan tersebut belum holistik. Bantuan belum menyeluruh. Seperti ucap seorang guru asal Kabupaten Muna Provinsi Sulawesi Tenggara, La Ode Mukmin yang menyebut, bantuan pemerintah itu belum lengkap tanpa adanya suplai hal lain. "Kalau ada komputer dan laptop, tapi tidak ada listrik lalu musti bagaimana?" paparnya.
Memang, dongeng akan selalu berakhir dengan kata-kata yang indah. Hanya, bisakah kita menciptakan realita lebih indah dari sekedar dongeng pengantar tidur? Deputi Bidang Restrukturisasi dan Perencanaan Strategis Kementerian BUMN Pandu Djajanto mengakui adanya ketimpangan fasilitas pendidikan antara daerah pedalaman dengan perkotaan.
Kesamaan hak untuk melek teknologi memang butuh waktu, makanya, kontribusi perusahaan pelat merah dalam kegiatan ini adalah jejak-jejak yang tengah diupayakan untuk mewujudkan hal tersebut.
"Saya tidak memaksa semua hal bisa diselesaikan oleh BUMN, tapi setidaknya ada tindak lanjut untuk mengurangi kendala pendidikan ini," tutur Pandu.
Memang masalah pendidikan itu tidak melulu soal kemelekan teknologi. Ada hal lain seperti pasokan listrik dan minimnya pengajar. Namun, perusahaan milik negara tersebut, lewat Kementerian BUMN, akan berupaya mengoordinasikan hal tersebut lintas sektor dengan pihak terkait.
Lalu bagaimana upaya awal untuk mengupas kulit keterbatasan tadi? Direktur Utama PGN Hendro Prio Santoso mengusulkan agar ada suplai komputer tablet lengkap dengan bantuan akses telekomunikasi agar memudahkan para pelajar pedalaman mendapat akses buku secara elektronik. "Kita bisa suplai tablet dari PT INTI, lalu bandwidth dan server dari Telkom. Pusat (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Nasional) tinggal kasih virtual (buku online). Ini sudah sangat menghemat jika perbandingannya pengiriman buku ke lokasi pedalaman," tuturnya.
Lalu bagaimana pasokan listrik? Meski belum menjanjikan untuk kesepuluh kabupaten, PT Asabri mengutarakan komitmennya untuk menyuplai listrik bersumber tenaga surya. Kira-kira bagaimana eksekusi wacana ini? Mudah-mudahan berhasil. Sebab, melek teknologi adalah hak semua orang (PUREL/DP-DS)